Selasa, 28 Agustus 2007

Pilgub Damai, Kenapa Tidak?



Gesekan-gesekan politik atau bahkan kekerasan politik dimungkinkan terjadi dalam Pemilian Gubernur tahun 2008. Sebab, jika belajar dari pengalaman sejarah pemilu yang pernah terlaksana di tanah air. Bentrokan antar massa partai, pemukulan, penculikan, pengeroyokan dan sampai pada bentuk penghilangan nyawa orang (pembunuhan) lain bermotif politik merupakan sekian contoh kekerasan yang selalu hadir di tengah prosesi Pemilu. Yang menarik, kekerasan politik dalam sejarah pemilu di tanah air semakin mengemuka di tengah berlangsungnya agenda kampanye. Ini berarti, kampanye memiliki potensi kekerasan politik cukup besar di banding agenda-agenda Pemilu.

Pemilu 2004 tentunya juga memiliki potensi kekerasan yang tidak jauh berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya. Bahkan, dapat dikatakan bahwa gesekan-gesekan politik telah terjadi disana sini jauh sebelum agenda kampanye di berlakukan, sebagaimana tampak, misalnya, disekitar penentuan daftar urutan Caleg. Apalagi, pada masa kampanye ---dengan melihat berbagai fakta-fakta yang terjadi sebelumnya, kemungkinan terjadinya gesekan politik cukup besar. Karena itu, menarik menelisik di balik kemungkinan munculnya gesekan politik di tengah berlangsungnya kampanye Pemilu 2004.

II

Pertanyataan kali pertama yang dapat diajukan untuk menelisik kekerasan politik kampanye dalam pemilu 2004 adalah, kapan kira-kira masa kampanye yang potensial dan paling potensial memungkinkan menciptakan kekerasan politik ?. Ini menjadi menarik ketika UU 12 tahun 2003 tentang Pemilu menggambarkan format kampanye berbeda dengan pemilu sebelumnya. Jika dalam pemilu 1999 misalnya, kampanye hanya ada satu putaran. Namun, dalam Pemilu 2004 kampanye terdiri dari tiga putaran. berbagai putaran ini, tentu saja, menyimpan potensi gesekan atau bahkan menimbulkan kekerasan kampanye yang berbeda, potensial dan paling potensial. Pertanyaan kedua adalah, apakah bentuk-bentuk gesekan politik kampanye yang mungkin muncul di masing-masing putaran tersebut ?. Kenapa muncul, dan siapa yang terlibat dalam gesekan politik kampanye tersebut ?.

Kampanye putaran pertama yang berlangsung mulai tanggal 11 Maret sampai dengan 1 April 2004. Kampanye dalam putaran ini adalah ajang sosialisasi partai-partai politik, calon anggota DPRD, DPRD Propinsi, DPRD Kabupaten/Kota, dan anggota Dewan Perwakilan daerah (DPD).

Gesekan politik pada putaran pertama kampanye kemungkinan lebih banyak bermanifest pada bentrokan antar pendukung partai politik dan calon anggota legislatif. Potensi bentrokan di Jawa Timur dapat dikatakan cukup besar setelah melihat kondisi partai-partai politik peserta Pemilu di Jawa Timur.

Pertama, Potensi bentrokan yang muncul dan dipicu oleh tokoh-tokoh partai yang loncat ke partai lain akibat kekecewaan terhadap mekanisme internal partai. Di Jawa Timur, lompat pagar merupakan perilaku politik politisi yang hampir dijumpai dalam partai-partai besar. Phenomena loncat pagar mengemuka ketika sang politisi kecewa dengan kebijakan internal partai dan di pecat karena berani membangkang kebijakan partai mereka.

Sayangnya, para politisi yang keluar dari partai-partai besar tersebut bergabung dengan partai lain. Langkah Basuki dan kawan-kawan dan KH Fawaid As’ad merupakan dua contoh kasus yang menunjukkan kenyataan politik ini. Basuki dan kawan-kawan di pecat dari PDI-P akibat membangkang kebijakan internal partai. Selanjutnya, Basuki dan kawan-kawan bergabung dengan menjadi tokoh kunci partai baru (PNBK) Surabaya. Sedangkan, KH Fawaid keluar dari PKB akibat kecewa dengan kinerja internal partai. Sejak itu, begitu agresif Kiai-politisi tersebut melakukan manuver-manuver politik dan berujung kembali menjadi bagian dari PPP,walaupun secara ekplisit tidak pernah diakuinya, tapi kunjungan KH. Fawaid ke Wapres Hamzah Haz sangatlah politis.

Baik Basuki dan kawan-kawan maupun KH Fawaid bisa dimungkinkan menjadi benih gesekan-gesekan pada saat kampanye. Masing-masing politisi akan bergerak habis meluapkan kekecewaan kepada para konstituentnya melalui momentum kampenye. Dari sini, muncul perlawanan balik dari partai politik yang dulu menaunginya maupun elit-elit partai. Kedua kekuatan politik berbeda itu akan saling menghadapkan dua kelompok massa sehingga melahirkan bentrokan antar massa partai dengan mudah terjadi.

Kedua, bentrokan muncul dipicu oleh perebutan konstituent yang memiliki basis sama. Diantara partai-partai politik yang memiliki basis konstituent sama, misalnya PPP, PKB, PNUI dan PBR. Keempat partai itu sama-sama memiliki basis massa dari kalangan muslim NU. Selain itu, basis pemilih sama juga ada didalam partai PDI-P, PNBK, PNI Marheines, dan Partai Pelopor. Belum lagi, perebutan massa partai dari basis konstitutent yang sama antara Partai Golkar, PKP, dan PKPB.

Perebutan massa akan cukup mengemuka di beberapa daerah di Jawa Timur saat berlangsungnya musim kampenye putaran pertama. Masing-masing partai akan saling berhadapan untuk memperebutkan voter dan mengkalim sebagai partai paling otoritatif terhadap basis massa tersebut. Benturan terjadi manakala elit partai-partai di atas membawa-bawa massa pendukungnya kedalam ruang konflik. Kasus 1999 di berbagai daerah di Jawa Timur dan Jawa Tengah menunjukkan benturan dengan mudah terjadi dikantong-kantong muslim tradisional maupun nasionalis akibat mobilisasi massa partai-partai politik dari basis yang sama. Misalnya saja di Sampang dan sekitarnya basis NU sama-sam menjadi rebutan antara PPP dan PKB, keduanya dengan semangat keagamaan saling memberikan apresiatif yang sangat berlebihan sehingga yang muncul bukan lagi persamaan program partai, tapi karena partainya beda, maka permusuhan yang dikedepankan.

Ketiga, masih dominannya issue-issue etno dan religio sentrisme sebagai wacana kampanye pendulang suara. Didaerah-daerah tertentu di Jawa Timur, masyarakat akar rumput masih begitu kuat memegang semangat etnisitas dan religiositasnya. Di pihak lain, kalangan elit partai partai-partai politik dengan jeli dapat melihat bahwa sentimen etnisitas dan religiositas merupakan issue penting yang dapat dgunakan sebagai alat mendulang suara. Masing-masing partai politik melalui elit lokal saling memanfaatkan issue etnisitas dan religiositas sebagai wacana kampanye. Apalagi, jika partai-partai politik menggunakan etnisitas dan religiositas sebagai alat legitimasi keberadaan partai-partai politik. Akibatnya, benturan antar partai politik berikut massa masing-masing terjadi akibat politisasi etnisitas dan religiositas tersebut.

Keempat, Kenyataan konstituent yang mayoritas belum memiliki kapasitas sebagai pemilih rasional. Harus diakui mayoritas pemilih di Jawa Timur masih belum memiliki kapasitas sebagai pemilih rasional. Banyak diantara mereka menyalurkan aspirasi politiknya tergantung elit-elit lokal berpengaruh. Akibat dari kondisi ini, massa mudah terprovokasi dan saling berhadapan hanya gara-gara perbedaan pilihan partai politik.

Gesekan (baca; kekerasan) politik kampanye juga dimungkinkan mengemuka saat berlangsungnya kampanye putaran kedua. Yaitu, kampanye Presiden dan Wakil Presiden tahap pertama yang akan berlangsung tanggal 14 Mei sampai 18 Juni 2004. Dalam putaran ini, semua kandidat Presiden dan Wakil Presiden yang sudah memenuhi persyaratan mengkampanyekan keikut sertaan diri sebagai peserta.

Partai-partai politik akan memobilisasi massa partai masing-masing untuk mendukung calon Presiden dan Wakil Presiden. Di pihak lain, kekerasan politik yang muncul dalam putaran pertama kampanye masih belum tersembuhkan. Dari sini, bentrokan antar massa pendukung calon Presiden dan Wakil Presiden dengan mudah dapat meletus kepermukaan.

Kampanye Presiden dan Wakil Presiden tahap II yang akan berlangsung dari tanggal 26 Agustus sampai dengan 12 Agustus 2004. Kampanye putaran ini, difahami paling potensial menciptakan kekerasan politik dengan bentuk-bentuknya yang beragam. Paling tidak, ada beberapa alasan penting yang menggambarkan rentannya gesekan politik kampanye pada putaran ketiga ini. Pertama, gesekan dipicu oleh masih belum pudarnya memori kekalahan partai politik dalam pemilu legislatif. Kedua, gesekan politik kampanye di picu oleh sikap balas dendam dari pihak-pihak yang menerima kerugian akibat bentrok antar massa partai dalam kampanye putaran pertama. Ketiga, kekerasan muncul dan dipicu oleh akspresi traumatik akibat kekerasan yang terjadi pada putaran kedua. Keempat, kekerasan juga paling mungkin dipicu oleh partai-partai politik yang tidak berhasil menempatkan calon Presiden maupun Wakil Presiden kedalam pemilihan putaran kedua.

Dengan kata lain, kampanye putaran ketiga akan menjadi media ekspresi dari berbagai kekecewaan maupun kekalahan yang telah muncul sebelumnya. Sehingga, dapat dikatakan bahwa kampanye putaran ketiga memiliki potensi kekerasan politik paling besar dan kompleks.

Seringkali, gesekan politik yang bermanifest pada bentrokan antar partai politik maupun antar massa partai tidak dengan mudah di selesaikan. Yang kerap terjadi, bentrokan itu justru melahirkan kekerasan-kekerasan politik partai. Diantara bentuk kekerasan lanjutan misalnya, penghadangan massa partai yang sedang melakukan konvoi atau pulang dari arena kampenye, pengerusakan dan pembakaran atribut dan fasilitas-fasilitas partai politik lain, pengeroyokan, penculikan, dan bahkan pembunuhan massa partai lain (kasus bentrokan antar massa PDI Perjuangan dan massa Golkar di Tabanan Bali beberapa bulan lalu yang mengakibatkan 2 orang meninggal akan sulit dilupakan bagi mereka yang merasa kalah dan jadi korban). Semua bentuk kekerasan politik itu sangat mungkin terjadi jika mempertimbangkan kondisi objektif diatas.

V

Begitu besarnya potensi kekerasan politik dalam masa kampanye berbagai putaran diatas, sangat tidak bijaksana jika semata-mata hanya menyerahkan semua penyelesaian kepada aparat pemilu (Polri, KPU, Panwaslu). Suksesnya Pemilu 2004 dengan berbagai agenda didalamnya merupakan tanggung jawab semua warga negara tanpa terkecuali. Padahal KPU sendiri sudah membe\uat kebikajan yang memisahkan hari kampanye partai yang kebetulan mempunyai bibit gesekan politik., misalnya PDI P dan Golkar, PKB dan PPP hari kampanyenya dipisah, untuk menghindari terjadinya gesekan politik antar massa partai.

Hal terpenting yang harus di catat, bahwa Pemilu 2004 merupakan langkah awal yang memungkinkan terseleksinya elit-elit baru dan membuka peluang berakhirnya masa ketidakpastian kebangsaan akibat krisis multi-dimensional. Dengan aturan main atau sistem baru yang lebih terbuka dan demokratis di banding pemilu-pemilu sebelumnya, Pemilu 2004 juga menjadi palang pintu menuntaskan agenda-agenda reformasi yang belum sempat terselesaikan oleh pemerintahan sebelumnya.

Oleh karena itu, pelaksanaan kampanye secara damai menjadi agenda penting yang mutlak diperlukan dalam rangka menghasilkan Pemilu 2004 yang adil, aman, dan sukses. Ada langkah-langkah penting yang dapat di jadikan pertimbangan menuju kampanye tanpa kekerasan.

Pertama, netralitas aparat pemilu dalam setiap proses-proses berlangsungnya semua agenda Pemilu 2004. Netralitas akan menempatkan aparat pemilu dari berbagai lembaga yang ada memiliki kewibawaan di hadapan partai-partai politik. Netralitas juga akan membangkitkan kepercayaan bagi partai-partai politik sehingga bersedia menempatkan aparat pemilu sebagai palang pintu semua penyelesaian persoalan yang berkaitan dengan pemilu 2004. Sekali aparat melakukan kesalahan dengan mengabaikan prinsip netralitas maka akan melahirkan krisis kepercayaan yang berujung tidak lagi mengakui eksistensi kewenagan mereka. Sehingga, aparat pemilu tidak lagi memiliki kredibilitas dan kewibawaan di hadapan semua kontenstan Pemilu. Misalnya apabila terjadi pelanggaran aturan kampanye dilakukan oleh partai politik, tidak pandang apakah itu partai besar atau kecil, aparat maupun panwaslu harus berani menindak tegas. Kita harus belajar dari pemilu 1999, dimana jika ada pelanggaran dilakukan oleh partai kecil, panwaslu bersikap tegas, namun apabila pelanggaran kampanye dilakukan partai besar yang nota bene punya massa besar mereka cenderung membiarkan.

Kedua, netralitas tidak memiliki arti penting bila tidak didukung oleh sinergitas pejabat-pejabat pemilu. Komisi Pemilihan Umum (KPU), aparat pemerintahan, Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu), Polri, dan lain-lain memiliki pandangan sama tentang bagaimana Pemilu 2004. Konflik antar pejabat pemilu memberi peluang bagi kontestant Pemilu untuk memanfaatkan situasi tersebut. Karena itu, komunikasi dan konsolidasi efektif antar pejabat pemilu mutlak di perlukan.

Ketiga, pemetaan potensi konflik yang ada di Jawa Timur dalam rangka merumuskan scheduling agenda kampanye partai-partai politik maupun Capres dan Cawapres. Ini menjadi penting agar supaya partai-partai politik maupun Capres dan Cawapres yang memperebutkan massa dari basis konstituen sama tidak bertemu dalam satu titik.

Ketiga, aktualisasi kesepakatan partai-partai politik yang selama ini telah digulirkan (Forum Komunikasi Partai Politik). Selama ini, khsusunya di Jawa Timur muncul kesepakatan kebutuhan mutlak suksesnya Pemilu 2004 dengan berbagai agenda di dalamnya, termasuk agenda kampanye. Sukses di dalam pengertian semua pelaksanaan pemilu berjalan adil, aman, dan tertib. Kesepakatan tersebut tidaklah hanya terhenti sebagai good will para elit partai politik semata. Namun, kesepakatan dijelmakan kedalam aksi-aksi kongkrit dan nyata yang melibatkan semua partai politik kontenstant pemilu 2004. Meski berbagai pertimbangan inipun belum menjamin terselenggaranya Pemilu 2004 sesuai dengan harapan, tetapi paling tidak, akan dapat meminimalisir gesekan dan kekerasan politik Pemilihan Umum, khsusunya gesekan ditengah berlangsungya tiga putaran kampanye. gesekan politik memang sangat sulit dihentikan sama sekali, tetapi meminimalisir potensi-potensi kekerasan akan lebih baik dari pada tidak melakukan sama sekali.

Tidak ada komentar: