Selasa, 28 Agustus 2007

KUHAP Harus Direvisi

Koran Jawa Pos tanggal 1 Maret 2007 menulis tentang rencana pemerintah melakukan revisi terhadap Undang-undang No.08 tahun 1981 tentang Kiitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Kita tau usia KUHAP sekarang ini sudah lebih dari 25 tahun, tentunya sudah banyak pasal-pasal yang tidak sesuai dengan kondisi yang ada, Hal ini sudah lama menjadi kritikan para praktisi hukum agar pemerintah segera melakukan revisi KUHAP, Setelah sekian lama ditunggu-tunggu rencana revisi datang jua. Ini disampaikan oleh Prof. Andi Hamzah selaku ketua tim penyusun RUU KUHAP.

Pertanyaannya adalah apakah semua elemen aparat penegak hukum dilibatkan dalam revisi KUHAP? Misalnya Polisi, Jaksa Hakim dan Advokat, mereka ini adalah steak holders dalam pelaksanaan KUHAP dilapangan. Terutama Advokat pada saat mendampingi klien baik di kepolisian maupun di pengadilan banyak mengalami hambatan karena pasal-pasal KUHAP banyak mengandung kelemahan. Tulisan ini tidak akan membahas banyak pasal yang harus direvisi, tapi akan fokus pada soal kewenangan penahanan oleh Polisi, Jaksa dan Hakim. Sebab kewenangan penahanan seringkali menjadi momok bagi tersangka yang sedang menjalani pemeriksaan.

Misalnya pasal 1 angka 21 menyebutkan; bahwa penyidik, penuntut umum hakim berwenang melakukan penahanan. Tetapi pasal 21 KUHAP memberikan rambu-rambu, agar aparat penegak hukum tidak menyalahgunakan Undang-undang yang bisa merugikan hak tersangka/terdakwa. Prakteknya penyidik terlalu mudah melakukan penahanan terhadap tersangka, tidak hanya kasus korupsi tapi jika tindak pidana umum. Jangan-jangan penyidik menggunakan paradigma “tahan dulu soal salah dan benar biar nanti dibuktikan di pengadilan”. Apabila pendapat ini yang digunakan jelas salah besar. Ada beberapa konsekwensi terhadap ditahannya seorang tersangka. Pertama, aktifitas keseharian tersangka akan terhenti, misalnya pekerjaan dan kewajiban kepada keluarga. Kedua, dengan ditahan psikologi tersangka menjadi hancur, sebab tersangka merasa namanya telah tercemar.

Opini Masyarakat selama ini menganggap, tersangka yang ditahan oleh aparat penegak hukum, sama saja telah melakukan kesalahan yang sudah diputus oleh pengadilan. Padahal selama belum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, tersangka/terdakwa wajib dianggap tidak bersalah. Konsekwensi-konsekwensi ini harusnya menjadi pertimbangan bagi Penyidik, Jaksa dan Hakim.

Syarat Penahanan

Ada 2 (dua) syarat penahanan seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 21 ayat 1 KUHAP yaitu; syarat subjektif dan objektif. Syarat subjektif ialah; Penahanan bisa dilakukan dengan pertimbangan apabila dikhawatirkan tersangka/terdakwa melarikan diri, menghilangkan barang bukti dan dikhawatirkan mengulangi tindak pidana. Jika penyidik tidak dapat menemukan tiga indikasi tersebut tentu punyidik tidak boleh melakukan penahanan. Syarat objektif adalah; bahwa penahanan bisa dilakukan apabila tesangka/terdakwa melanggar dengan ancaman penjara di atas 5 (lima) tahun, kecuali untuk kasus-kasus tertentu yang disyaratkan oleh Undang-undang.

Pertanyaannya, apakah selama ini penyidik dalam melakukan penahanan menggunakan dua syarat di atas? Jawabnya pasti ya. Namun, fakta dilapangan penyidik dengan mudah melakukan penahanan walaupun tersangka sudah kooperatif dalam setiap penyidikan, tersangka komitmen tidak akan mengulangi tindak pidana dan komitmen tidak akan menghilangkan barang bukti. Toh penahanan dilakukan oleh Penyidik. Menurut saya, syarat penahanan seperti yang dimaksud dalam pasal 21 ayat 1 KUHAP multi tafsir dan cenderung memberikan kewenangan absolut kepada Polisi, Jaksa dan Hakim. Siapa yang berhak mengatakan bahwa tersangka/terdakwa dikhawatirkan melarikan diri, mencoba menghilangkan barang bukti dsb. Apakah tersangka yang hendak pergi ke luar kota sudah mengindikasikan tersangka akan lari? Apakah tersangka yang menemui korban, atau masuk kantor sudah bisa dikategorikan hendak mengulangi tindak pidana? Ketentuan ini menjadikan penyidik melakukan kesimpulan sekehendak hatinya jika mau melakukan penahanan.

Pasal kewenangan penahanan memberikan peluang terjadinya diel-diel tertentu antara tersangka dan Polisi, Jaksa dan Hakim supaya tidak dilakukan penahanan. Kewenangan pasal ini hampir sama dengan pasal tentang penangguhan penahanan yang sering disalahgunakan oleh aparat penegak hukum (pasal 31 KUHAP). Sehingga hukum bisa dibeli, hukum menghamba kepada si kaya dan hukum hanya berlaku bagi orang miskin. lihat kasus Alim Markus (bos P.T. Maspion) yang ditahan Mabes Polri atas tuduhan pelanggaran Undang-undang Bank Indonesia (BI) yang penahanannya ditangguhkan tapi perkaranya mati suri.

KUHAP memberikan batasan masa penahanan kepada penydik, jaksa dan hakim. Tujuan dari penahanan itu sendiri untuk memudahkan penyidikan, dan tidak menutup kemungkinan jika pemeriksaan sudah selesai tersangka bisa dikeluarkan dari tahanan. ini adalah amanat Undang-undang. Prakteknya belum pernah ada tahanan yang dikeluarkan karena pemeriksaannya sudah selesai, yang ada, penahanan selalu diperpanjang walaupun pemeriksaan sudah selesai. Aparat penegak hukum sering beralasan, mereka tidak mau ambil resiko, jika dikeluarkan dari tahanan kuatir mempersulit pemeriksaan di pengadilan.

Apabila tersangka ditahan dengan dasar bukti yang dipaksakan, dan masa penahanannya habis, atau oleh majelis hakim dibebaskan karena dakwaannya tidak terbukti siapa yang bertanggung jawab atas penahanan tersangka? seperti kasus Edi Widiono (direktur PLN) dan Sahudi (kepala Dinas Pendidikan kota Surabaya) karena waktu panahanannya habis sementara berkas perkara belum sempurna sehingga mereka harus dilepas demi hukum. Sementara masyarakat sudah terlanjur memberikan stigma negatif, psikologi keluarga tersangka sudah hancur duluan. Kalao penahanan justru dimaksudkan supaya psikologi tersangka down dan mengakui semua yang belum tentu dilakukan oleh tersangka. Itu sama saja aparat penegak hukum telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia.

Idealnya dalam melakukan pemeriksaan, polisi tidak perlu melakukan penahanan jika tersangka selalu kooperatif setiap dipanggil oleh penyidik. Jangan karena kasus menjadi perhatian masyarakat, sehingga membuat polisi, Jaksa melakukan penahanan? Itu artinya tujuan penahanan bukan supaya memperlancar penyidikan tetapi untuk menyenangkan hati masyarakat. Polisi-pun kadang tidak konsisten, Samsul Hadi (saat menjabat bupati Banyuwangi) dan MZ Jalal (bupati Jember) dalam pemeriksaan dugaan kasus korupsi di Polda Jatim tidak melakukan penahanan, alasannya karena tersangka kooperatif (ini namanya tebang pilih).

KUHAP Harus Direvisi Secara Mendasar

Sekali lagi harus ditekankan, bahwa tujuan penahanan adalah untuk memperlancar pemeriksaan. Jangan sampai tujuan tersebut berubah menjadi menghukum tersangka. Apabila tujuan penahanan untuk memperlancar penyidikan, maka tersangka tidak boleh merasa kebebasan dan kemerdekaannya hilang, di dalam tahanan-pun jangan sampai mengalami tekanan dll. Agar tujuan penahanan itu sendiri tidak menyimpang menjadi hukumam bagi tersangka.

Kenapa KUHAP harus direvisi? supaya model penegakan hukum di negara ini tidak compang-camping yang bisa dijual belikan oleh Polisi, Jaksa, Hakim dan Advokat. Polisi, Jaksa dan Hakim tidak boleh diberikan kewenangan absolut dalam melakukan penahanan. Harus ada lembaga yang bisa mengontrol (praperadilan) jika syarat penahanan terhadap tersangka tidak berdasar Undang-undang bisa dibatalkan. Jangan lagi ada pasal yang multi tafsir yang bisa digunakan oleh aparat penegak hukum bermain-main. Dengan begitu upaya Polisi, Jaksa dan Hakim dalam bernegosiasi dengan tersangka bisa diminimalisir.

Pasal 21 ayat (4) b KUHAP harus dicabut, karena mengatur pasal-pasal perkecualiaan yang bisa dilakukan penahanan seperti pasal 335 (perbuatan tidak menyenangkan) KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana). Pasal ini biasa disebut dengan pasal karet dan oleh penyidik sering disalahgunakan untuk menahan tersangka, padaha bobot perkaranya sangat ringan.

Revisi KUHAP juga harus mencantumkan tentang batasan waktu penyidikan, KUHAP sekarang tidak mengatur batasan waktu perkara yang tersangkanya tidak ditahan. Sehingga perkara di penyidik bisa memakan waktu berbulan-bulan bahkan bisa lebih. Misalnya waktu penyidikan yang tersangkanya tidak ditahan maksimal 6 (enam) bulan. Apabila dalam kurun waktu tertsebut berkas perkaranya belum lengkap maka penyidik harus mengeluarkan SP 3 (surat perintah penghentian penyidikan) bagaimanapun KUHAP harus menjunjung tinggi asas kepastian hukum.

Ada yang berpendapat untuk kasus korupsi, pembunuhan, penipuan semua tersangka harus ditahan. Dengan pertimbangan bentuk kejahatannya cukup berat, Maka, harus ada pasal yang jelas dan tegas misalnya pasal mana yang boleh dilakukan penahanan dan pasal mana yang tidak boleh dilakukan penahanan. Dengan begitu keadilan bisa terwujud tanpa ada perbedaan.


Tidak ada komentar: