Selasa, 28 Agustus 2007

Kebijakan Rasialis di Kota Pahlawan

Kemerdekaan sejatinya adalah terbuangnya semua bentuk penjajahan di Negara ini, baik dalam bentuk fisik maupun psikis. Tapi di kota Surabaya ternyata masih ada perlakuan diskriminatif, rasialis kepada warga Tionghoa yang nyata-nyata berkewarganegaraan Indonesia. Yaitu, dicantumkannya nama marga di Akta Perkawinan oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dispenduk Capil) tanpa diminta oleh pemohon.

Dispenduk Capil secara sepihak menambahkan nama marga (keturunan) di kutipan Akta Perkawinan dan tanpa diminta oleh pemohon. Ini jelas punya implikasi yang luar biasa karena kutipan Akta Perkawinan namanya tidak sama dengan yang tertera di KTP, Sertipikat, ijin usaha BPKB dll. Maka jika melakukan pengurusan dokumen penting lain pasti akan mendapatkan kendala. Dispenduk Capil berargumentasi bahwa kebijakan tersebut sudah sesuai dengan Staatsblat 1917 (peraturan yang dibuat Belanda) yang sampai sekarang masih diberlakukan. Dan tulisan ini difokuskan pada penambahan nama marga yang dilakukan oleh Dispenduk Capil.

Meskipun negara ini telah merdeka sudah lebih dari 50 tahun tapi berkaitan dengan pencatatan sipil masih menggunakan peraturan warisan kolonial Belanda (sungguh ironis), rujukannya ialah; Undang –Undang Dasar 1945 pasal II aturan peralihan menyatakan: “Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”.

Dulu pemerintah Belanda dengan teori devide et impera membagi tiga golongan penduduk yakni Pribumi, Timur Asing dan Eropa. Tujuannya jelas selain agar penduduk waktu itu terpecah dan saling bermusuhan, tujuannya supaya populasi penduduk semakin mudah dikontrol. Karena belum ada Undang-Undang tentang Catatan Sipil, akibatnya semua warga Etnis Tionghoa walaupun hidup dalam alam reformasi, untuk soal pencatatan sipil masih harus menggunakan peraturan warisan kolonial. Ada yang berpendapat pemerintah Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun juga punya kepentingan terhadap pengkotakan golongan tadi, wajar jika Undang-Undang Catatan Sipil dianggap tidak terlalu penting untuk segera dibuat

Dispenduk Capil sebenarnya tidak bisa disalahkan seratus persen, karena jika mengacu kepada Staatsblad 1917 no 130 jo 1919 no. 81, bagi golongan Tionghoa pasal 54 dan pasal 69 menyatakan: “bahwa penulisan dan Akta Perkawinan harus mencamtumkan nama turunan dan nama kecil”. Nama turunan itu selalu ditafsirkan oleh pihak Dispenduk Capil sebagai nama marga. Jadi bagi mereka yang tunduk kepada Staatsblat 1917 dan 1919, dalam dan Akta Perkawinan jika tidak mencantumkan nama marga, secara otomatis tanpa diminta oleh yang bersangkutan nama marga tersebut akan ditulis. Padahal tidak semua orang setuju nama marganya dicantumkan. Anehnya ada beberapa kasus, jika Dispenduk Capil kesulitan mencari nama marga mereka akan menambahkan nama orang tua dibelakangnya, jadi nama orang tua dianggap sebagai nama marga.

Tidak cukup sampai di sini, sekarang bagi warga Tionghoa yang hendak mengajukan pencatatan Akta Perkawinan apabila di KTP dan KK pemohon belum tercantum nama marga mereka harus mengganti dulu KTP dan KK. Hal ini jelas sangat tidak rasional dan menyusahkan warga. kasus ini dibuktikan dengan banyaknya surat protes yang disampaikan melalui surat pembaca Jawa Pos. Berarti ada ribuan warga Tionghoa yang akan merubah dokumen KTP dan KK, tidak cukup sampai di situ, mereka juga harus merubah Sertipikat Tanah, BPKB motor/mobil, Ijin Usaha, NPWP, Ijasah dan banyak dokumen lain. Sebab dokumen tersebut namanya tidak sama dengan yang tercantum di KTP dan KK. Dispenduk Capil tidak berpikir efek domino yang menimpa warga Tionghoa. mereka hanya ingin menjalankan aturan yang dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda.

Kebijakan bertentangan dengan UUD

Di sini penulis akan mencoba menganalisa bahwa kebijakan yang dilakukan oleh Dispenduk Capil sebenarnya bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan peraturan lainnya. Undang-Undang Dasar 1945 pasal 27 ayat 1: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Sedangkan pasal 28 D ayat 1 menyatakan: “Setiap orang berhak atas pengakuan jaminan, pelindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Alasan Dispenduk capil memberlakukan Staatsblad 1917 tidak tepat, karena ada Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1945 tentang Peraturan Peralihan pasal 1 menyatakan: “ Segala badan-badan negara dan peraturan-peraturan yang ada sampai berdirinya Negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar masih berlaku asal saja tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar tersebut”.

Jelas sekali bahwa para pendiri bangsa ini sudah mengerti, banyak peraturan peninggalan pemerintahan Belanda yang bersifat diskriminatif dan jika diberlakukan sudah tidak sesuai lagi dengan kerangka negara demokrasi, sehingga diberlakukan Peraturan Pemerintah nomor 2 Tahun 1945. Kita juga mempunyai Undang-Undang nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang tidak membenarkan adanya pembedaan kebijakan yang didasarkan karena etnis, agama, jenis kelamin dll. Ada juga Undang-Undang nomor 29 Tahun 1999 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial yang melarang individu maupun pemerintah melakukan tindakan diskriminatif.

Yang paling terbaru adalah Surat Menteri Dalam Negeri nomor: 474.1/1580/SJ tanggal 14 Juli 2003 yang ditujukan kepada Bupati/Walikota seluruh Indonesia yang berbunyi: “Atas dasar penelahaan dasar hukum tersebut dan pertimbangan yang seksama, maka, perlu ditegaskan bahwa pencantuman nama kecil dapat dipergunakan apabila ada yang meminta dengan persyaratan bahwa pencantuman nama keluarga/marga/keturunan tersebut dilakukan melalui pembuktian hukum keturunan”.

Kesimpulan

Setelah membaca tulisan di atas, tidak ada alasan apapun apabila Dispenduk Capil menambahkan nama marga dalam Akta Perkawinan. Karena banyak peraturan yang bisa digunakan sebagai payung hukum. dan ini terbukti di daerah lain tidak ada kasus seperti di Surabaya. Artinya selama ini justru Dispenduk Capil yang mencari-cari masalah. Dispenduk Capil kurang mempunyai keberanian dalam memberikan pelayanan terhadap warga yang tunduk kepada staatsblad 1917, sehingga yang terjadi praktiknya kaku, biarpun merugikan warga etnis Tionghoa masih saja diberlakukan.

Apalagi hukum catatan sipil kita-kan tidak mengenal lagi Golongan Pribumi, Golongan Tionghoa maupun Golongan Eropa, yang ada warga negara Indonesia dan warga negara Asing. Harusnya dengan adanya kasus seperti di Surabaya menjadikan pelajaran buat pemerintah dan DPR agar memprioritaskan pembahasan mengenai rancangan Undang-undang tentang Catatan Sipil, jangan terlalu sibuk mengurusi rancangan Undang-undang anti pornografi dan porno aksi saja yang banyak mengalami penolakan dari masyarakat,

Sebagai penutup tulisan ini, penulis menyarankan kepada Dispenduk Capil, pertama, harus ada keberanian mencatat Akta Perkawinan sesuai keinginan dari pemohon, tidak lagi mendiskriminasi karena mereka orang Tionghoa maka harus tunduk pada aturan kolonial. Yang penting warga Negara Indonesia maka perlakuannya adalah sama. Kedua, mengganti Akta Perkawinan yang sudah terlanjur diberi tambahan nama marga. Ketiga, Walikota Surabaya harus menginstruksikan kepada kecamatan untuk mengganti KTP dan KK yang sudah terlanjur diberi nama marga. Ke empat, yang tidak kalah penting Pemkot Surabaya meminta maaf secara terbuka kepada warga yang telah mendapatkan kebijakan disrkiminatif, rasialis tersebut.

Tidak ada komentar: