Selasa, 28 Agustus 2007

Koruptor Bebas, Karena Lemahnya Undang-undang

Langkah presiden Susilo Bambang Yudoyono dalam upaya pemberantasan korupsi menuai kecaman. Ada yang menganggap langkah tersebut untuk menaikkan popularitas menjelang pemilu 2009. Sementara kalangan partai politik yang berseberangan melihat langkah SBY tersebut diskriminatif, karena yang ditangkapi hanya pejabat-pejabat pemerintahan sebelumnya. Sedangkan para jenderal tidak tersentuh, Hamid Awaludin (menteri Hukum dan Perundang-undangan) yang diduga terkait kasus korupsi KPU semasa menjadi anggota KPU aman-aman saja. Tulisan ini memfokuskan pada lemahnya KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana) yang mengakibatkan bebasnya tersangka korupsi.

Beberapa bulan lalu, kepala PLN Edi Widono tersangka kasus korupsi pembangunan pembangkit Listrik di Sumatera akhirnya bebas demi hukum. Karena batas waktu penahanan ditingkat penyidikan sudah habis. Sedangkan kejaksaan belum mengeluarkan P21 yang menunjukkan bahwa berkas tersangka sudah dianggap sempurna. Edi Widiono dikenal dekat dengan Wapres Jusuf Kalla. Di Polda Jatim Sahudi (kepala Dinas Pendidikan kota Surabaya) tersangka kasus korupsi pemalsuan Mikroskup juga penahanannya ditangguhkan penyidik beberapa jam sebelum masa penahanan habis. Persoalannya sama, sebab kejaksaan Tinggi Jatim belum mengeluarkan P 21.

Bebasnya tersangka korupsi karena masa penahanan habis patut menjadi perhatian, sebab dengan ditahannya tersangka oleh penyidik, berarti penyidik sudah mempunyai bukti yang cukup. Sehingga dasar penyidik melakukan penahanan terhadap tersangka berdasarkan syarat obyektif dan subyektif sudah terpenuhi. Tapi jika tersangka harus bebas demi hukum, tentunya sebuah tamparan bagi polisi, dan menambah daftar buruknya kinerja kepolisian.

Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pasal 1 angka 21 menyebutkan; bahwa penyidik, penuntut umum hakim berwenang melakukan penahanan. Tetapi pasal 21 KUHAP memberikan rambu-rambu, agar aparat penegak hukum tidak menyalahgunakan Undang-undang yang bisa merugikan hak tersangka/terdakwa. Prakteknya penyidik terlalu mudah melakukan penahanan terhadap semua tersangka tidak hanya kasus korupsi. Jangan-jangan penyidik menggunakan paradigma “tahan dulu soal salah dan benar biar nanti dibuktikan di pengadilan”. Apabila pendapat ini yang digunakan jelas salah besar. Ada beberapa konsekwensi terhadap ditahannya seorang tersangka. Pertama, aktifitas keseharian tersangka akan terhenti, misalnya pekerjaan dan kewajiban kepada keluarga. Kedua, dengan ditahan psikologi tersangka menjadi hancur, sebab tersangka merasa namanya telah tercemar.

Masyarakat menganggap, tersangka yang ditahan oleh aparat penegak hukum, sama saja telah melakukan kesalahan. Padahal selama belum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, tersangka/terdakwa wajib dianggap tidak bersalah. Konsekwensi-konsekwensi ini harusnya menjadi pertimbangan bagi Penyidik, Jaksa dan Hakim.

Syarat Penahanan

Ada 2 (dua) syarat penahanan seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 21 ayat 1 KUHAP yaitu; syarat subjektif dan objektif. Syarat subjektif ialah; Penahanan bisa dilakukan dengan pertimbangan apabila dikhawatirkan tersangka/terdakwa melarikan diri, menghilangkan barang bukti dan dikhawatirkan mengulangi tindak pidana. Jika penyidik tidak dapat menemukan tiga indikasi tersebut tentu punyidik tidak boleh melakukan penahanan. Syarat objektif adalah; bahwa penahanan bisa dilakukan apabila tesangka/terdakwa melanggar dengan ancaman penjara di atas 5 (lima) tahun, kecuali untuk kasus-kasus tertentu yang disyaratkan oleh Undang-undang.

Pertanyaannya, apakah selama ini penyidik dalam melakukan penahanan menggunakan dua syarat di atas? Jawabnya pasti ya. Menurut saya, syarat penahanan seperti yang dimaksud dalam pasal 21 ayat 1 KUHAP multi tafsir dan cenderung memberikan kewenangan absolut kepada Polisi, Jaksa dan Hakim. Siapa yang berhak mengatakan bahwa tersangka/terdakwa akan melarikan diri, mencoba menghilangkan barang bukti dsb. Apakah tersangka yang hendak pergi ke luar kota sudah mengidikasikan tersangka akan lari? Apakah tersangka yang menemui korban, atau masuk kantor sudah bisa dikategorikan hendak mengulangi tindak pidana? Ketentuan ini menjadikan penyidik melakukan kesimpulan sekehendak hatinya jika mau melakukan penahanan.

Pasal ini memberikan peluang terjadinya diel-diel tertentu antara tersangka dan Polisi, Jaksa dan Hakim supaya tidak dilakukan penahanan. Kewenangan pasal penahanan hampir sama dengan pasal tentang penangguhan penahanan yang sering disalahgunakan oleh aparat penegak hukum (pasal 31 KUHAP). Sehingga hukum bisa dibeli, hukum menghamba kepada si kaya dan hukum hanya berlaku bagi orang miskin. lihat kasus Alim Markus (bos P.T. Maspion) yang ditahan Mabes Polri atas tuduhan pelanggaran Undang-undang Bank Indonesia (BI) yang penahanannya ditangguhkan tapi perkaranya mati suri.

KUHAP memberikan batasan masa penahanan kepada penydik, jaksa dan hakim. Tujuan dari penahanan itu sendiri untuk memudahkan penydikan, dan tidak menutup kemungkinan jika pemeriksaan sudah selesai tersangka bisa dikeluarkan dari tahanan. ini adalah amanat Undang-undang. Prakteknya belum pernah ada tahanan yang dikeluarkan karena pemeriksaannya sudah selesai, yang ada, penahanan selalu diperpanjang walaupun pemeriksaan sudah selesai. Aparat penegak hukum sering beralasan, mereka tidak mau ambil resiko, jika dikeluarkan dari tahanan kuatir mempersulit pemeriksaan di pengadilan.

Apabila tersangka ditahan dengan dasar bukti yang dipaksakan, dan masa penahanannya habis, atau oleh majelis hakim dibebaskan karena dakwaannya tidak terbukti siapa yang bertanggung jawab atas penahanan tersangka? seperti kasus Edi Widiono dan Sahudi. Sementara masyarakat sudah terlanjur memberikan stigma negatif, psikologi keluarga tersangka sudah hancur duluan. Kalao penahanan justru dimaksudkan supaya psikologi tersangka down dan mengakui semua yang belum tentu dilakukan oleh tersangka. Itu sama saja aparat penegak hukum telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia.

Idealnya dalam melakukan pemeriksaan, polisi tidak perlu melakukan penahanan jika tersangka selalu kooperatif setiap dipanggil oleh penyidik. Jangan karena kasus korupsi menjadi perhatian masyarakat, sehingga membuat polisi melakukan penahanan? Itu artinya tujuan penahanan bukan supaya memperlancar penyidikan tetapi untuk menyenangkan hati masyarakat. Polisi-pun tidak konsisten, Samsul Hadi (saat menjabat bupati Banyuwangi) dan MZ Jalal (bupati Jember) dalam pemeriksaan dugaan kasus korupsi di Polda Jatim tidak melakukan penahanan, alasannya karena tersangka kooperatif (ini namanya tebang pilih).

KUHAP Harus direvisi

Sekali lagi harus ditekankan, bahwa tujuan penahanan adalah untuk memperlancar pemeriksaan. Jangan sampai tujuan tersebut berubah menjadi menghukum tersangka. Apabila tujuan penahanan untuk memperlancar penyidikan, maka tersangka tidak boleh merasa kebebasan dan kemerdekaannya hilang, di dalam tahanan-pun jangan sampai mengalami tekanan dll. Agar tujuan penahanan itu sendiri tidak menyimpang menjadi hukumam bagi tersangka.

KUHAP harus direvisi, supaya model penegakan hukum di negara ini tidak compang-camping dan bisa dijual belikan. Polisi, Jaksa dan Hakim tidak boleh diberikan kewenangan absolut dalam melakukan penahanan. Harus ada lembaga yang bisa mengontrol (praperadilan) jika syarat penahanan terhadap tersangka tidak berdasar Undang-undang bisa dibatalkan. Jangan lagi ada pasal yang multi tafsir yang bisa digunakan oleh aparat penegak hukum bermain-main. Tersangka jika kooperatif dalam setiap pemeriksaan tidak boleh dilakukan penahanan. Dengan begitu upaya Polisi, Jaksa dan Hakim dalam bernegosiasi dengan tersangka bisa diminimalisir.

Ada yang berpendapat untuk kasus korupsi semua tersangka harus ditahan. Dengan pertimbangan bentuk kejahatannya cukup berat, karena merugikan keuangan negara dan melukai hati orang miskin. Maka, harus ada pasal yang jelas dan tegas misalnya untuk perkara korupsi, semua tersangka harus ditahan, kecuali tersangka yang dalam kondisi sakit. Dengan begitu keadilan bisa terwujud.

Tidak ada komentar: