Selasa, 28 Agustus 2007
TERORISME DAN BOM BALI
Terorisme asal kata dari teroris, ini adalah sebuah gerakan perlawanan yang aktifitasnya tidak tampak, tapi selalu membuat lawan yang tidak disukai ketakutan. Musuh dari teroris bisa sebuah Negara, bisa juga bukan, tergantung kepentingannya. Terorisme menjadi wacana umum selalu dikaitkan dengan sepak terjang Osamma Bin Laden seorang warga Negara Arab yang kaya raya dan dia sangat membeci negara-negara barat seperti Amerika, Inggris
Tidak puas oleh kebijakan negara-negara barat terhadap konflik Palestina dan Israel Osamma dan kawan-kawannya mendukung perjuangan tersebut tetapi bentuk dukungan itu diwujudkan dengan sokongan dana dan aktifitas peledakan yang tujuannya memperingatkan negara-negara barat harus adil dalam melihat konflik Palestina dan Israel.beberapa peledakan selalu yang dituduh adalah Osamm Bin Laden, seperti gedung Oklahoma di Amerika dan gedung WTC newyork tahun 2001. sampai sekarang terakhir Osamma mendapat perlindungan dari negara Afganistan di bawah kepemimpinan Mullah Omar Abdullah (nama pemerintahannya Taliban). Setelah pemerintahan Taliban diserang oleh tentara Amerika nasib Osama sampai sekarang tidak jelas apakah sudah meninggal atau belum.
Di Indonesia terorisme selalu selalu dikaitkan dengan Abu Bakar Baasyir, seoarang pemimpin pondok pesantren Nguri di Solo. Pada saat rejim Orde Baru berkuasa Abu Bakar Baasyir pernah lari ke
Dalam kurun waktu lima tahun terakhir Indonesia sering terjadi peledakan bom, seerti Bali 2001, 10 gereja 2001, hotel JW Marriot 2002, Kedubes Philipina 2002, Kedubes Autralia 2003 bali 2005 dan masih banyak lagi peledakan di daerah-daerah yang tidak terlalu besar. Peledakan tersebut selalu yang dituduh pelakunya adalah kolompok Islam garis keras. Apa betul? Yang pasti peledakan bom Bali 1 aparat kepolisian yang dibantu oleh polisi Australia dapat menangkap pelakukan seperti Amrozi, Imam Samudara dll, mereka adalah para santri yang dulu mondoknya dipesantren garis keras, seperti pondok pesarntren Al Mukmin Ngurki Solo pimpinan Abu Bakar Baasyir. Benar tidaknya bahwa pelaku peledakan adalah kelompok Islam garis keras, tapi di Palestina soal peledakan hingga bom bunuh diri sudah lama dilakukan oleh kelompok Hammas (gerakan pembebasan Palestina garis keras) mereka menghalalkan kekerasan demi mancapi tujuan Palestina merdeka. Disana seringkali pelaku peledakan bom bunuh diri dilakukan oleh kaum perempuan. Apakah bom bunuh diri itu konyol? Jelas jawabnya tidak, karena itu bagian dari keyakinan bahwa jika dia berhasil meledakkan dan meninggal dia akan mati syahid.
Pilgub Damai, Kenapa Tidak?
Gesekan-gesekan politik atau bahkan kekerasan politik dimungkinkan terjadi dalam Pemilian Gubernur tahun 2008. Sebab, jika belajar dari pengalaman sejarah pemilu yang pernah terlaksana di tanah air. Bentrokan antar
Pemilu 2004 tentunya juga memiliki potensi kekerasan yang tidak jauh berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya. Bahkan, dapat dikatakan bahwa gesekan-gesekan politik telah terjadi disana sini jauh sebelum agenda kampanye di berlakukan, sebagaimana tampak, misalnya, disekitar penentuan daftar urutan Caleg. Apalagi, pada masa kampanye ---dengan melihat berbagai fakta-fakta yang terjadi sebelumnya, kemungkinan terjadinya gesekan politik cukup besar. Karena itu, menarik menelisik di balik kemungkinan munculnya gesekan politik di tengah berlangsungnya kampanye Pemilu 2004.
II
Pertanyataan kali pertama yang dapat diajukan untuk menelisik kekerasan politik kampanye dalam pemilu 2004 adalah, kapan kira-kira masa kampanye yang potensial dan paling potensial memungkinkan menciptakan kekerasan politik ?. Ini menjadi menarik ketika UU 12 tahun 2003 tentang Pemilu menggambarkan format kampanye berbeda dengan pemilu sebelumnya. Jika dalam pemilu 1999 misalnya, kampanye hanya ada satu putaran. Namun, dalam Pemilu 2004 kampanye terdiri dari tiga putaran. berbagai putaran ini, tentu saja, menyimpan potensi gesekan atau bahkan menimbulkan kekerasan kampanye yang berbeda, potensial dan paling potensial. Pertanyaan kedua adalah, apakah bentuk-bentuk gesekan politik kampanye yang mungkin muncul di masing-masing putaran tersebut ?. Kenapa muncul, dan siapa yang terlibat dalam gesekan politik kampanye tersebut ?.
Kampanye putaran pertama yang berlangsung mulai tanggal 11 Maret sampai dengan
Gesekan politik pada putaran pertama kampanye kemungkinan lebih banyak bermanifest pada bentrokan antar pendukung partai politik dan calon anggota legislatif. Potensi bentrokan di Jawa Timur dapat dikatakan cukup besar setelah melihat kondisi partai-partai politik peserta Pemilu di Jawa Timur.
Pertama, Potensi bentrokan yang muncul dan dipicu oleh tokoh-tokoh partai yang loncat ke partai lain akibat kekecewaan terhadap mekanisme internal partai. Di Jawa Timur, lompat pagar merupakan perilaku politik politisi yang hampir dijumpai dalam partai-partai besar. Phenomena loncat pagar mengemuka ketika sang politisi kecewa dengan kebijakan internal partai dan di pecat karena berani membangkang kebijakan partai mereka.
Sayangnya, para politisi yang keluar dari partai-partai besar tersebut bergabung dengan partai lain. Langkah Basuki dan kawan-kawan dan KH Fawaid As’ad merupakan dua contoh kasus yang menunjukkan kenyataan politik ini. Basuki dan kawan-kawan di pecat dari PDI-P akibat membangkang kebijakan internal partai. Selanjutnya, Basuki dan kawan-kawan bergabung dengan menjadi tokoh kunci partai baru (PNBK)
Baik Basuki dan kawan-kawan maupun KH Fawaid bisa dimungkinkan menjadi benih gesekan-gesekan pada saat kampanye. Masing-masing politisi akan bergerak habis meluapkan kekecewaan kepada para konstituentnya melalui momentum kampenye. Dari sini, muncul perlawanan balik dari partai politik yang dulu menaunginya maupun elit-elit partai. Kedua kekuatan politik berbeda itu akan saling menghadapkan dua kelompok
Kedua, bentrokan muncul dipicu oleh perebutan konstituent yang memiliki basis sama. Diantara partai-partai politik yang memiliki basis konstituent sama, misalnya PPP, PKB, PNUI dan PBR. Keempat partai itu sama-sama memiliki basis
Perebutan
Ketiga, masih dominannya issue-issue etno dan religio sentrisme sebagai wacana kampanye pendulang suara. Didaerah-daerah tertentu di Jawa Timur, masyarakat akar rumput masih begitu kuat memegang semangat etnisitas dan religiositasnya. Di pihak lain, kalangan elit partai partai-partai politik dengan jeli dapat melihat bahwa sentimen etnisitas dan religiositas merupakan issue penting yang dapat dgunakan sebagai alat mendulang suara. Masing-masing partai politik melalui elit lokal saling memanfaatkan issue etnisitas dan religiositas sebagai wacana kampanye. Apalagi, jika partai-partai politik menggunakan etnisitas dan religiositas sebagai alat legitimasi keberadaan partai-partai politik. Akibatnya, benturan antar partai politik berikut
Keempat, Kenyataan konstituent yang mayoritas belum memiliki kapasitas sebagai pemilih rasional. Harus diakui mayoritas pemilih di Jawa Timur masih belum memiliki kapasitas sebagai pemilih rasional. Banyak diantara mereka menyalurkan aspirasi politiknya tergantung elit-elit lokal berpengaruh. Akibat dari kondisi ini,
Gesekan (baca; kekerasan) politik kampanye juga dimungkinkan mengemuka saat berlangsungnya kampanye putaran kedua. Yaitu, kampanye Presiden dan Wakil Presiden tahap pertama yang akan berlangsung tanggal 14 Mei sampai 18 Juni 2004. Dalam putaran ini, semua kandidat Presiden dan Wakil Presiden yang sudah memenuhi persyaratan mengkampanyekan keikut sertaan diri sebagai peserta.
Partai-partai politik akan memobilisasi
Kampanye Presiden dan Wakil Presiden tahap II yang akan berlangsung dari tanggal 26 Agustus sampai dengan 12 Agustus 2004. Kampanye putaran ini, difahami paling potensial menciptakan kekerasan politik dengan bentuk-bentuknya yang beragam. Paling tidak, ada beberapa alasan penting yang menggambarkan rentannya gesekan politik kampanye pada putaran ketiga ini. Pertama, gesekan dipicu oleh masih belum pudarnya memori kekalahan partai politik dalam pemilu legislatif. Kedua, gesekan politik kampanye di picu oleh sikap balas dendam dari pihak-pihak yang menerima kerugian akibat bentrok antar
Dengan kata lain, kampanye putaran ketiga akan menjadi media ekspresi dari berbagai kekecewaan maupun kekalahan yang telah muncul sebelumnya. Sehingga, dapat dikatakan bahwa kampanye putaran ketiga memiliki potensi kekerasan politik paling besar dan kompleks.
Seringkali, gesekan politik yang bermanifest pada bentrokan antar partai politik maupun antar
V
Begitu besarnya potensi kekerasan politik dalam masa kampanye berbagai putaran diatas, sangat tidak bijaksana jika semata-mata hanya menyerahkan semua penyelesaian kepada aparat pemilu (Polri, KPU, Panwaslu). Suksesnya Pemilu 2004 dengan berbagai agenda didalamnya merupakan tanggung jawab semua warga negara tanpa terkecuali. Padahal KPU sendiri sudah membe\uat kebikajan yang memisahkan hari kampanye partai yang kebetulan mempunyai bibit gesekan politik., misalnya PDI P dan Golkar, PKB dan PPP hari kampanyenya dipisah, untuk menghindari terjadinya gesekan politik antar massa partai.
Hal terpenting yang harus di catat, bahwa Pemilu 2004 merupakan langkah awal yang memungkinkan terseleksinya elit-elit baru dan membuka peluang berakhirnya masa ketidakpastian kebangsaan akibat krisis multi-dimensional. Dengan aturan main atau sistem baru yang lebih terbuka dan demokratis di banding pemilu-pemilu sebelumnya, Pemilu 2004 juga menjadi palang pintu menuntaskan agenda-agenda reformasi yang belum sempat terselesaikan oleh pemerintahan sebelumnya.
Oleh karena itu, pelaksanaan kampanye secara damai menjadi agenda penting yang mutlak diperlukan dalam rangka menghasilkan Pemilu 2004 yang adil, aman, dan sukses.
Pertama, netralitas aparat pemilu dalam setiap proses-proses berlangsungnya semua agenda Pemilu 2004. Netralitas akan menempatkan aparat pemilu dari berbagai lembaga yang ada memiliki kewibawaan di hadapan partai-partai politik. Netralitas juga akan membangkitkan kepercayaan bagi partai-partai politik sehingga bersedia menempatkan aparat pemilu sebagai palang pintu semua penyelesaian persoalan yang berkaitan dengan pemilu 2004. Sekali aparat melakukan kesalahan dengan mengabaikan prinsip netralitas maka akan melahirkan krisis kepercayaan yang berujung tidak lagi mengakui eksistensi kewenagan mereka. Sehingga, aparat pemilu tidak lagi memiliki kredibilitas dan kewibawaan di hadapan semua kontenstan Pemilu. Misalnya apabila terjadi pelanggaran aturan kampanye dilakukan oleh partai politik, tidak pandang apakah itu partai besar atau kecil, aparat maupun panwaslu harus berani menindak tegas. Kita harus belajar dari pemilu 1999, dimana jika ada pelanggaran dilakukan oleh partai kecil, panwaslu bersikap tegas, namun apabila pelanggaran kampanye dilakukan partai besar yang nota bene punya
Kedua, netralitas tidak memiliki arti penting bila tidak didukung oleh sinergitas pejabat-pejabat pemilu. Komisi Pemilihan Umum (KPU), aparat pemerintahan, Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu), Polri, dan lain-lain memiliki pandangan sama tentang bagaimana Pemilu 2004. Konflik antar pejabat pemilu memberi peluang bagi kontestant Pemilu untuk memanfaatkan situasi tersebut. Karena itu, komunikasi dan konsolidasi efektif antar pejabat pemilu mutlak di perlukan.
Ketiga, pemetaan potensi konflik yang ada di Jawa Timur dalam rangka merumuskan scheduling agenda kampanye partai-partai politik maupun Capres dan Cawapres. Ini menjadi penting agar supaya partai-partai politik maupun Capres dan Cawapres yang memperebutkan
Ketiga, aktualisasi kesepakatan partai-partai politik yang selama ini telah digulirkan (Forum Komunikasi Partai Politik). Selama ini, khsusunya di Jawa Timur muncul kesepakatan kebutuhan mutlak suksesnya Pemilu 2004 dengan berbagai agenda di dalamnya, termasuk agenda kampanye. Sukses di dalam pengertian semua pelaksanaan pemilu berjalan adil, aman, dan tertib. Kesepakatan tersebut tidaklah hanya terhenti sebagai good will para elit partai politik semata. Namun, kesepakatan dijelmakan kedalam aksi-aksi kongkrit dan nyata yang melibatkan semua partai politik kontenstant pemilu 2004. Meski berbagai pertimbangan inipun belum menjamin terselenggaranya Pemilu 2004 sesuai dengan harapan, tetapi paling tidak, akan dapat meminimalisir gesekan dan kekerasan politik Pemilihan Umum, khsusunya gesekan ditengah berlangsungya tiga putaran kampanye. gesekan politik memang sangat sulit dihentikan sama sekali, tetapi meminimalisir potensi-potensi kekerasan akan lebih baik dari pada tidak melakukan sama sekali.
Koruptor Bebas, Karena Lemahnya Undang-undang
Langkah presiden Susilo Bambang Yudoyono dalam upaya pemberantasan korupsi menuai kecaman.
Beberapa bulan lalu, kepala PLN Edi Widono tersangka kasus korupsi pembangunan pembangkit Listrik di Sumatera akhirnya bebas demi hukum. Karena batas waktu penahanan ditingkat penyidikan sudah habis. Sedangkan kejaksaan belum mengeluarkan P21 yang menunjukkan bahwa berkas tersangka sudah dianggap sempurna. Edi Widiono dikenal dekat dengan Wapres Jusuf Kalla. Di Polda Jatim Sahudi (kepala Dinas Pendidikan
Bebasnya tersangka korupsi karena masa penahanan habis patut menjadi perhatian, sebab dengan ditahannya tersangka oleh penyidik, berarti penyidik sudah mempunyai bukti yang cukup. Sehingga dasar penyidik melakukan penahanan terhadap tersangka berdasarkan syarat obyektif dan subyektif sudah terpenuhi. Tapi jika tersangka harus bebas demi hukum, tentunya sebuah tamparan bagi polisi, dan menambah daftar buruknya kinerja kepolisian.
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pasal 1 angka 21 menyebutkan; bahwa penyidik, penuntut umum hakim berwenang melakukan penahanan. Tetapi pasal 21 KUHAP memberikan rambu-rambu, agar aparat penegak hukum tidak menyalahgunakan Undang-undang yang bisa merugikan hak tersangka/terdakwa. Prakteknya penyidik terlalu mudah melakukan penahanan terhadap semua tersangka tidak hanya kasus korupsi. Jangan-jangan penyidik menggunakan paradigma “tahan dulu soal salah dan benar biar nanti dibuktikan di pengadilan”. Apabila pendapat ini yang digunakan jelas salah besar.
Masyarakat menganggap, tersangka yang ditahan oleh aparat penegak hukum, sama saja telah melakukan kesalahan. Padahal selama belum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, tersangka/terdakwa wajib dianggap tidak bersalah. Konsekwensi-konsekwensi ini harusnya menjadi pertimbangan bagi Penyidik, Jaksa dan Hakim.
Syarat Penahanan
Pertanyaannya, apakah selama ini penyidik dalam melakukan penahanan menggunakan dua syarat di atas? Jawabnya pasti ya. Menurut saya, syarat penahanan seperti yang dimaksud dalam pasal 21 ayat 1 KUHAP multi tafsir dan cenderung memberikan kewenangan absolut kepada Polisi, Jaksa dan Hakim. Siapa yang berhak mengatakan bahwa tersangka/terdakwa akan melarikan diri, mencoba menghilangkan barang bukti dsb. Apakah tersangka yang hendak pergi ke luar
Pasal ini memberikan peluang terjadinya diel-diel tertentu antara tersangka dan Polisi, Jaksa dan Hakim supaya tidak dilakukan penahanan. Kewenangan pasal penahanan hampir sama dengan pasal tentang penangguhan penahanan yang sering disalahgunakan oleh aparat penegak hukum (pasal 31 KUHAP). Sehingga hukum bisa dibeli, hukum menghamba kepada si kaya dan hukum hanya berlaku bagi orang miskin. lihat kasus Alim Markus (bos P.T. Maspion) yang ditahan Mabes Polri atas tuduhan pelanggaran Undang-undang Bank Indonesia (BI) yang penahanannya ditangguhkan tapi perkaranya mati suri.
KUHAP memberikan batasan masa penahanan kepada penydik, jaksa dan hakim. Tujuan dari penahanan itu sendiri untuk memudahkan penydikan, dan tidak menutup kemungkinan jika pemeriksaan sudah selesai tersangka bisa dikeluarkan dari tahanan. ini adalah amanat Undang-undang. Prakteknya belum pernah ada tahanan yang dikeluarkan karena pemeriksaannya sudah selesai, yang ada, penahanan selalu diperpanjang walaupun pemeriksaan sudah selesai. Aparat penegak hukum sering beralasan, mereka tidak mau ambil resiko, jika dikeluarkan dari tahanan kuatir mempersulit pemeriksaan di pengadilan.
Apabila tersangka ditahan dengan dasar bukti yang dipaksakan, dan masa penahanannya habis, atau oleh majelis hakim dibebaskan karena dakwaannya tidak terbukti siapa yang bertanggung jawab atas penahanan tersangka? seperti kasus Edi Widiono dan Sahudi. Sementara masyarakat sudah terlanjur memberikan stigma negatif, psikologi keluarga tersangka sudah hancur duluan. Kalao penahanan justru dimaksudkan supaya psikologi tersangka down dan mengakui semua yang belum tentu dilakukan oleh tersangka. Itu sama saja aparat penegak hukum telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia.
Idealnya dalam melakukan pemeriksaan, polisi tidak perlu melakukan penahanan jika tersangka selalu kooperatif setiap dipanggil oleh penyidik. Jangan karena kasus korupsi menjadi perhatian masyarakat, sehingga membuat polisi melakukan penahanan? Itu artinya tujuan penahanan bukan supaya memperlancar penyidikan tetapi untuk menyenangkan hati masyarakat. Polisi-pun tidak konsisten, Samsul Hadi (saat menjabat bupati Banyuwangi) dan MZ Jalal (bupati Jember) dalam pemeriksaan dugaan kasus korupsi di Polda Jatim tidak melakukan penahanan, alasannya karena tersangka kooperatif (ini namanya tebang pilih).
KUHAP Harus direvisi
Sekali lagi harus ditekankan, bahwa tujuan penahanan adalah untuk memperlancar pemeriksaan. Jangan sampai tujuan tersebut berubah menjadi menghukum tersangka. Apabila tujuan penahanan untuk memperlancar penyidikan, maka tersangka tidak boleh merasa kebebasan dan kemerdekaannya hilang, di dalam tahanan-pun jangan sampai mengalami tekanan dll. Agar tujuan penahanan itu sendiri tidak menyimpang menjadi hukumam bagi tersangka.
KUHAP harus direvisi, supaya model penegakan hukum di negara ini tidak compang-camping dan bisa dijual belikan. Polisi, Jaksa dan Hakim tidak boleh diberikan kewenangan absolut dalam melakukan penahanan. Harus ada lembaga yang bisa mengontrol (praperadilan) jika syarat penahanan terhadap tersangka tidak berdasar Undang-undang bisa dibatalkan. Jangan lagi ada pasal yang multi tafsir yang bisa digunakan oleh aparat penegak hukum bermain-main. Tersangka jika kooperatif dalam setiap pemeriksaan tidak boleh dilakukan penahanan. Dengan begitu upaya Polisi, Jaksa dan Hakim dalam bernegosiasi dengan tersangka bisa diminimalisir.
KUHAP Harus Direvisi
Pertanyaannya adalah apakah semua elemen aparat penegak hukum dilibatkan dalam revisi KUHAP? Misalnya Polisi, Jaksa Hakim dan Advokat, mereka ini adalah steak holders dalam pelaksanaan KUHAP dilapangan. Terutama Advokat pada saat mendampingi klien baik di kepolisian maupun di pengadilan banyak mengalami hambatan karena pasal-pasal KUHAP banyak mengandung kelemahan. Tulisan ini tidak akan membahas banyak pasal yang harus direvisi, tapi akan fokus pada soal kewenangan penahanan oleh Polisi, Jaksa dan Hakim. Sebab kewenangan penahanan seringkali menjadi momok bagi tersangka yang sedang menjalani pemeriksaan.
Misalnya pasal 1 angka 21 menyebutkan; bahwa penyidik, penuntut umum hakim berwenang melakukan penahanan. Tetapi pasal 21 KUHAP memberikan rambu-rambu, agar aparat penegak hukum tidak menyalahgunakan Undang-undang yang bisa merugikan hak tersangka/terdakwa. Prakteknya penyidik terlalu mudah melakukan penahanan terhadap tersangka, tidak hanya kasus korupsi tapi jika tindak pidana umum. Jangan-jangan penyidik menggunakan paradigma “tahan dulu soal salah dan benar biar nanti dibuktikan di pengadilan”. Apabila pendapat ini yang digunakan jelas salah besar.
Opini Masyarakat selama ini menganggap, tersangka yang ditahan oleh aparat penegak hukum, sama saja telah melakukan kesalahan yang sudah diputus oleh pengadilan. Padahal selama belum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, tersangka/terdakwa wajib dianggap tidak bersalah. Konsekwensi-konsekwensi ini harusnya menjadi pertimbangan bagi Penyidik, Jaksa dan Hakim.
Syarat Penahanan
Pertanyaannya, apakah selama ini penyidik dalam melakukan penahanan menggunakan dua syarat di atas? Jawabnya pasti ya. Namun, fakta dilapangan penyidik dengan mudah melakukan penahanan walaupun tersangka sudah kooperatif dalam setiap penyidikan, tersangka komitmen tidak akan mengulangi tindak pidana dan komitmen tidak akan menghilangkan barang bukti. Toh penahanan dilakukan oleh Penyidik. Menurut saya, syarat penahanan seperti yang dimaksud dalam pasal 21 ayat 1 KUHAP multi tafsir dan cenderung memberikan kewenangan absolut kepada Polisi, Jaksa dan Hakim. Siapa yang berhak mengatakan bahwa tersangka/terdakwa dikhawatirkan melarikan diri, mencoba menghilangkan barang bukti dsb. Apakah tersangka yang hendak pergi ke luar
Pasal kewenangan penahanan memberikan peluang terjadinya diel-diel tertentu antara tersangka dan Polisi, Jaksa dan Hakim supaya tidak dilakukan penahanan. Kewenangan pasal ini hampir sama dengan pasal tentang penangguhan penahanan yang sering disalahgunakan oleh aparat penegak hukum (pasal 31 KUHAP). Sehingga hukum bisa dibeli, hukum menghamba kepada si kaya dan hukum hanya berlaku bagi orang miskin. lihat kasus Alim Markus (bos P.T. Maspion) yang ditahan Mabes Polri atas tuduhan pelanggaran Undang-undang Bank Indonesia (BI) yang penahanannya ditangguhkan tapi perkaranya mati suri.
KUHAP memberikan batasan masa penahanan kepada penydik, jaksa dan hakim. Tujuan dari penahanan itu sendiri untuk memudahkan penyidikan, dan tidak menutup kemungkinan jika pemeriksaan sudah selesai tersangka bisa dikeluarkan dari tahanan. ini adalah amanat Undang-undang. Prakteknya belum pernah ada tahanan yang dikeluarkan karena pemeriksaannya sudah selesai, yang ada, penahanan selalu diperpanjang walaupun pemeriksaan sudah selesai. Aparat penegak hukum sering beralasan, mereka tidak mau ambil resiko, jika dikeluarkan dari tahanan kuatir mempersulit pemeriksaan di pengadilan.
Apabila tersangka ditahan dengan dasar bukti yang dipaksakan, dan masa penahanannya habis, atau oleh majelis hakim dibebaskan karena dakwaannya tidak terbukti siapa yang bertanggung jawab atas penahanan tersangka? seperti kasus Edi Widiono (direktur PLN) dan Sahudi (kepala Dinas Pendidikan
Idealnya dalam melakukan pemeriksaan, polisi tidak perlu melakukan penahanan jika tersangka selalu kooperatif setiap dipanggil oleh penyidik. Jangan karena kasus menjadi perhatian masyarakat, sehingga membuat polisi, Jaksa melakukan penahanan? Itu artinya tujuan penahanan bukan supaya memperlancar penyidikan tetapi untuk menyenangkan hati masyarakat. Polisi-pun kadang tidak konsisten, Samsul Hadi (saat menjabat bupati Banyuwangi) dan MZ Jalal (bupati Jember) dalam pemeriksaan dugaan kasus korupsi di Polda Jatim tidak melakukan penahanan, alasannya karena tersangka kooperatif (ini namanya tebang pilih).
KUHAP Harus Direvisi Secara Mendasar
Sekali lagi harus ditekankan, bahwa tujuan penahanan adalah untuk memperlancar pemeriksaan. Jangan sampai tujuan tersebut berubah menjadi menghukum tersangka. Apabila tujuan penahanan untuk memperlancar penyidikan, maka tersangka tidak boleh merasa kebebasan dan kemerdekaannya hilang, di dalam tahanan-pun jangan sampai mengalami tekanan dll. Agar tujuan penahanan itu sendiri tidak menyimpang menjadi hukumam bagi tersangka.
Kenapa KUHAP harus direvisi? supaya model penegakan hukum di negara ini tidak compang-camping yang bisa dijual belikan oleh Polisi, Jaksa, Hakim dan Advokat. Polisi, Jaksa dan Hakim tidak boleh diberikan kewenangan absolut dalam melakukan penahanan. Harus ada lembaga yang bisa mengontrol (praperadilan) jika syarat penahanan terhadap tersangka tidak berdasar Undang-undang bisa dibatalkan. Jangan lagi ada pasal yang multi tafsir yang bisa digunakan oleh aparat penegak hukum bermain-main. Dengan begitu upaya Polisi, Jaksa dan Hakim dalam bernegosiasi dengan tersangka bisa diminimalisir.
Pasal 21 ayat (4) b KUHAP harus dicabut, karena mengatur pasal-pasal perkecualiaan yang bisa dilakukan penahanan seperti pasal 335 (perbuatan tidak menyenangkan) KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana). Pasal ini biasa disebut dengan pasal karet dan oleh penyidik sering disalahgunakan untuk menahan tersangka, padaha bobot perkaranya sangat ringan.
Revisi KUHAP juga harus mencantumkan tentang batasan waktu penyidikan, KUHAP sekarang tidak mengatur batasan waktu perkara yang tersangkanya tidak ditahan. Sehingga perkara di penyidik bisa memakan waktu berbulan-bulan bahkan bisa lebih. Misalnya waktu penyidikan yang tersangkanya tidak ditahan maksimal 6 (enam) bulan. Apabila dalam kurun waktu tertsebut berkas perkaranya belum lengkap maka penyidik harus mengeluarkan SP 3 (
Kebijakan Rasialis di Kota Pahlawan
Di sini penulis akan mencoba menganalisa bahwa kebijakan yang dilakukan oleh Dispenduk Capil sebenarnya bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan peraturan lainnya. Undang-Undang Dasar 1945 pasal 27 ayat 1: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Sedangkan pasal 28 D ayat 1 menyatakan: “Setiap orang berhak atas pengakuan jaminan, pelindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Alasan Dispenduk capil memberlakukan Staatsblad 1917 tidak tepat, karena ada Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1945 tentang Peraturan Peralihan pasal 1 menyatakan: “ Segala badan-badan negara dan peraturan-peraturan yang ada sampai berdirinya Negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar masih berlaku asal saja tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar tersebut”.
Jelas sekali bahwa para pendiri bangsa ini sudah mengerti, banyak peraturan peninggalan pemerintahan Belanda yang bersifat diskriminatif dan jika diberlakukan sudah tidak sesuai lagi dengan kerangka negara demokrasi, sehingga diberlakukan Peraturan Pemerintah nomor 2 Tahun 1945. Kita juga mempunyai Undang-Undang nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang tidak membenarkan adanya pembedaan kebijakan yang didasarkan karena etnis, agama, jenis kelamin dll.
Yang paling terbaru adalah Surat Menteri Dalam Negeri nomor: 474.1/1580/SJ tanggal 14 Juli 2003 yang ditujukan kepada Bupati/Walikota seluruh Indonesia yang berbunyi: “Atas dasar penelahaan dasar hukum tersebut dan pertimbangan yang seksama, maka, perlu ditegaskan bahwa pencantuman nama kecil dapat dipergunakan apabila ada yang meminta dengan persyaratan bahwa pencantuman nama keluarga/marga/keturunan tersebut dilakukan melalui pembuktian hukum keturunan”.
Setelah membaca tulisan di atas, tidak ada alasan apapun apabila Dispenduk Capil menambahkan nama marga dalam Akta Perkawinan. Karena banyak peraturan yang bisa digunakan sebagai payung hukum. dan ini terbukti di daerah lain tidak ada kasus seperti di
Menghapus mafia peradilan di PN Surabaya
Tulisan ini sebagai bentuk keprihatinan melihat kondisi pengadilan negeri
Sudah menjadi kebiasan di PN Surabaya bahwa, system persidangan bertele-tele, menjemukan dipenuhi suap dan mafia peradilan. Padahal, setiap hari persidangan baik perkara Perdata maupun Pidana selalu memenuhi ruang persidangan, kadang harus antri menunggu ruang sidang yang masih dipergunakan. Jika seperti itu biasaya ruang sidang Pengadilan Niaga yang kebetulan tempatnya di gedung sebelah dipakai sidang perkara Perdata dan Pidana yang tidak kebagian ruang sidang.
Sudah pernah ada usulan, PN Surabaya di tambah seperti
Para Advokat yang melakukan pembelaan kliennya baik perkara perdata maupun pidana melihat sistem persidangan di Pengadilan Negeri Surabaya sangat tidak efektif dan efisien. Karena satu hari hanya bisa sidang sekali, bagi Advokat yang kebetulan jam terbangnya tinggi tentu hal ini menjadi halangan, bisa jadi dalam satu hari ada beberapa perkara ditempat lain yang ditangani akhirnya tidak bisa diselesaikan hanya disebabkan harus menunggu sidang yang tidak menentu di PN
Sering kali para Advokat jam 9 (sembilan) sudah hadir di pengadilan tetapi karena lawannya belum datang, persidangan tidak bisa dimulai, dan harus menunggu berjam-jam, majelis hakim sendiri ketika diminta untuk memulai sidang tidak mau sebelum para pihaknya lengkap. Bagi mereka yang bertujuan mengulur persidangan maka sistem yang ada sekarang sangat diuntungkan. Tetapi jelas ini bertentangan dengan azas peradilan, dan menodai makna bahwa proses beracara yang cepat dan murah. Penulis sendiri pernah nunggu dari jam 9, baru jam 2 sidang bisa digelar. Ini terjadi penyebabnya tidak hanya karena lawan yang belum datang, tapi salah satu dari ketiga majelis hakim menangani perkara lain, sehingga saling menunggu untuk supaya majelis hakim lengkap baru sidang bisa dimulai, sungguh ironis.
Bahwa, di PN Surabaya dalam hal administrasi perkara perdata dan pidana sarat dengan pungli dan suap. Untuk mendaftar
Tidak itu saja, setelah putusan dibacakan harusnya Advokat/Terdakwa baik perkara perdata dan pidana berhak mendapatkan salinanan putusan, ini sebagai bahan untuk mengajukan banding. Praktik selama ini jika tidak mengeluarkan rupiah yang mencapai ratusan ribu, jangan harap bisa mendapatkan salinan putusan.
Para Advokat apabila hendak mengajukan Banding dan Kasasi yang tidak sepakat terhadap putusan hakim juga dibebani biaya tidak resmi, padahal untuk perkara perdata sudah ada biaya panjar (resmi) yang nilainya di atas Rp.500.000, (
Apabila masyarakat hendak mengajukan legalisir di PN
Pengadilan adalah tempat masyarakat mencari keadilan, lembaga ini harus bersih dari suap dan pungli, tidak terkecuali PN Surabaya. Maka harus ada gerakan bersama, Tidak bisa kita harapkan akan lahir perubahan dari internal pengadilan, sebab, mereka selama ini mendapat manfaat dari system yang rusak ini. Advokat dan LSM harus bisa memaksa PN
Kita harus jadikan Pengadilan negeri
Proses persidangan PA Surabaya bisa diberlakukan di PN
Di PA Surabaya pendaftaran
Berkaca pada PA Surabaya, masih ada secercah harapan untuk bisa memberantas mafia peradilan di PN
MUHAMMAD SHOLEH,SH.
Advokat juga Kepala Badan Bantuan Hukum PDI Perjuangan Surabaya
Hp.08123000134
Rek Bca.5090070501