Selasa, 28 Agustus 2007

MUHAMMAD SHOLEH,SH.

TERORISME DAN BOM BALI

Pada tanggal 1 Oktober 2005 kemarin masyarakat Bali dan masyarakat Indonesia pada umumnya dibuat berdetak kaget tatkala dua bom meledak pada saat hampir bersamaan, tempatnya di pantai Kute dan Jimbaran. Padahal saat itu masyarakat Bali dan para turis baik local dan internasional sedang asyiknya menikmati alam Pulau Bali. Di Bali jangankan hari Sabtu, hari biasa saja para turis berdatangan tiada henti, apalagi hari sabtu, disana orang menyebut kampung Bali, karena jumlah wisatawan asing jumlahnya cukup banyak. Memang sejak terjadinya peledakan tanggal 12 Oktober 2003 Silam terjadi eksodus besar-besaran, karena bom yang meledak sangat besar, jumlah korban-pun sekitar 200 orang, dan yang meninggal paling banyak turis asal Australia.

Ada beberapa pertanyaan kenapa sasaran peledakan bom harus pulau Bali? Apa betul bom tersebut berkaitan dengan terorisme? Apakah pelakukanya adalah orang-orang Islma garis keras? Beberapa pertanyaan di atas harus mendapat jawaban jika ingin mengungkap motif dibalik peledakan.

Bali adalah sebuah pulau wisata terbesar di Negara Indonesia, selain Bali ada juga tujuan wisatawan asing seperti pulau Lombok, Sulawesi dll. Namun yang mampu memberikan devisa jutaan dolar adalah pulau Bali. Ada cerita lucu, suatu saat orang Indonesia pergi ke Amerika, dan dia berkenalan dengan orang Amerika, pada saat dia menyampaikan kalau dia orang Indonesia, orang Amerika tersebut tidak mengenal Negara Indonesia yang dia tahu justru Bali. Ini menunjukkan betapa pulau Bali sangat terkenal di luar negeri. Maka tidak heran sasaran peledakan adalah pulau Bali, artinya jika Bali meledak saat itu juga akan menjadi berita Internasional.

Terorisme asal kata dari teroris, ini adalah sebuah gerakan perlawanan yang aktifitasnya tidak tampak, tapi selalu membuat lawan yang tidak disukai ketakutan. Musuh dari teroris bisa sebuah Negara, bisa juga bukan, tergantung kepentingannya. Terorisme menjadi wacana umum selalu dikaitkan dengan sepak terjang Osamma Bin Laden seorang warga Negara Arab yang kaya raya dan dia sangat membeci negara-negara barat seperti Amerika, Inggris Australia dlll. Gerakan Osamma Bin Laden diilhami dari perjuangan rakyat Palestina yang ingin merdeka dari pendudukan Israel, negara Israel saat melakukan invasi ke negara Palestina didukung oleh kelompok orang-orang Yahudi yang ada diluar Israel. Di dalam pemerintah Amerika yang paling dominan dalam membuat kebijakan adalah mereka keturunan Yahudi, sehingga tidak heran jika dalam konflik Israel dan Palelstina Amerika cenderung mendukung kebijakan Israel.

Tidak puas oleh kebijakan negara-negara barat terhadap konflik Palestina dan Israel Osamma dan kawan-kawannya mendukung perjuangan tersebut tetapi bentuk dukungan itu diwujudkan dengan sokongan dana dan aktifitas peledakan yang tujuannya memperingatkan negara-negara barat harus adil dalam melihat konflik Palestina dan Israel.beberapa peledakan selalu yang dituduh adalah Osamm Bin Laden, seperti gedung Oklahoma di Amerika dan gedung WTC newyork tahun 2001. sampai sekarang terakhir Osamma mendapat perlindungan dari negara Afganistan di bawah kepemimpinan Mullah Omar Abdullah (nama pemerintahannya Taliban). Setelah pemerintahan Taliban diserang oleh tentara Amerika nasib Osama sampai sekarang tidak jelas apakah sudah meninggal atau belum.

Di Indonesia terorisme selalu selalu dikaitkan dengan Abu Bakar Baasyir, seoarang pemimpin pondok pesantren Nguri di Solo. Pada saat rejim Orde Baru berkuasa Abu Bakar Baasyir pernah lari ke Malaysia untuk menghindari kejaran tentara Indonesia. Namun setelah jatuhnya Suharto Abu Bakar Baasyir balik ke Indonesia, sekembali dari Malaysia Abu Bakar Baasyir masih tetap keras dalam mengkritik kebijakan yang menurutnya tidak islami dan cenderung berpihak pada Amerika. Tidak heran setelah terjadinya peledakan 12 Oktober 2001 di Bali nama Abu Bakar Baasyir oleh Amerika dan Australia dianggap orang yang paling bertanggung jawab. Tapi Abu selalu menolak, jutru dia balik menuduh bahwa pelakukanya adalah pemerintah Amerika sendiri, ini dibuktikan yang paling banyak meninggal adalah warga negara Australia, bukan warga negara Amerika.

Dalam kurun waktu lima tahun terakhir Indonesia sering terjadi peledakan bom, seerti Bali 2001, 10 gereja 2001, hotel JW Marriot 2002, Kedubes Philipina 2002, Kedubes Autralia 2003 bali 2005 dan masih banyak lagi peledakan di daerah-daerah yang tidak terlalu besar. Peledakan tersebut selalu yang dituduh pelakunya adalah kolompok Islam garis keras. Apa betul? Yang pasti peledakan bom Bali 1 aparat kepolisian yang dibantu oleh polisi Australia dapat menangkap pelakukan seperti Amrozi, Imam Samudara dll, mereka adalah para santri yang dulu mondoknya dipesantren garis keras, seperti pondok pesarntren Al Mukmin Ngurki Solo pimpinan Abu Bakar Baasyir. Benar tidaknya bahwa pelaku peledakan adalah kelompok Islam garis keras, tapi di Palestina soal peledakan hingga bom bunuh diri sudah lama dilakukan oleh kelompok Hammas (gerakan pembebasan Palestina garis keras) mereka menghalalkan kekerasan demi mancapi tujuan Palestina merdeka. Disana seringkali pelaku peledakan bom bunuh diri dilakukan oleh kaum perempuan. Apakah bom bunuh diri itu konyol? Jelas jawabnya tidak, karena itu bagian dari keyakinan bahwa jika dia berhasil meledakkan dan meninggal dia akan mati syahid.

Pilgub Damai, Kenapa Tidak?



Gesekan-gesekan politik atau bahkan kekerasan politik dimungkinkan terjadi dalam Pemilian Gubernur tahun 2008. Sebab, jika belajar dari pengalaman sejarah pemilu yang pernah terlaksana di tanah air. Bentrokan antar massa partai, pemukulan, penculikan, pengeroyokan dan sampai pada bentuk penghilangan nyawa orang (pembunuhan) lain bermotif politik merupakan sekian contoh kekerasan yang selalu hadir di tengah prosesi Pemilu. Yang menarik, kekerasan politik dalam sejarah pemilu di tanah air semakin mengemuka di tengah berlangsungnya agenda kampanye. Ini berarti, kampanye memiliki potensi kekerasan politik cukup besar di banding agenda-agenda Pemilu.

Pemilu 2004 tentunya juga memiliki potensi kekerasan yang tidak jauh berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya. Bahkan, dapat dikatakan bahwa gesekan-gesekan politik telah terjadi disana sini jauh sebelum agenda kampanye di berlakukan, sebagaimana tampak, misalnya, disekitar penentuan daftar urutan Caleg. Apalagi, pada masa kampanye ---dengan melihat berbagai fakta-fakta yang terjadi sebelumnya, kemungkinan terjadinya gesekan politik cukup besar. Karena itu, menarik menelisik di balik kemungkinan munculnya gesekan politik di tengah berlangsungnya kampanye Pemilu 2004.

II

Pertanyataan kali pertama yang dapat diajukan untuk menelisik kekerasan politik kampanye dalam pemilu 2004 adalah, kapan kira-kira masa kampanye yang potensial dan paling potensial memungkinkan menciptakan kekerasan politik ?. Ini menjadi menarik ketika UU 12 tahun 2003 tentang Pemilu menggambarkan format kampanye berbeda dengan pemilu sebelumnya. Jika dalam pemilu 1999 misalnya, kampanye hanya ada satu putaran. Namun, dalam Pemilu 2004 kampanye terdiri dari tiga putaran. berbagai putaran ini, tentu saja, menyimpan potensi gesekan atau bahkan menimbulkan kekerasan kampanye yang berbeda, potensial dan paling potensial. Pertanyaan kedua adalah, apakah bentuk-bentuk gesekan politik kampanye yang mungkin muncul di masing-masing putaran tersebut ?. Kenapa muncul, dan siapa yang terlibat dalam gesekan politik kampanye tersebut ?.

Kampanye putaran pertama yang berlangsung mulai tanggal 11 Maret sampai dengan 1 April 2004. Kampanye dalam putaran ini adalah ajang sosialisasi partai-partai politik, calon anggota DPRD, DPRD Propinsi, DPRD Kabupaten/Kota, dan anggota Dewan Perwakilan daerah (DPD).

Gesekan politik pada putaran pertama kampanye kemungkinan lebih banyak bermanifest pada bentrokan antar pendukung partai politik dan calon anggota legislatif. Potensi bentrokan di Jawa Timur dapat dikatakan cukup besar setelah melihat kondisi partai-partai politik peserta Pemilu di Jawa Timur.

Pertama, Potensi bentrokan yang muncul dan dipicu oleh tokoh-tokoh partai yang loncat ke partai lain akibat kekecewaan terhadap mekanisme internal partai. Di Jawa Timur, lompat pagar merupakan perilaku politik politisi yang hampir dijumpai dalam partai-partai besar. Phenomena loncat pagar mengemuka ketika sang politisi kecewa dengan kebijakan internal partai dan di pecat karena berani membangkang kebijakan partai mereka.

Sayangnya, para politisi yang keluar dari partai-partai besar tersebut bergabung dengan partai lain. Langkah Basuki dan kawan-kawan dan KH Fawaid As’ad merupakan dua contoh kasus yang menunjukkan kenyataan politik ini. Basuki dan kawan-kawan di pecat dari PDI-P akibat membangkang kebijakan internal partai. Selanjutnya, Basuki dan kawan-kawan bergabung dengan menjadi tokoh kunci partai baru (PNBK) Surabaya. Sedangkan, KH Fawaid keluar dari PKB akibat kecewa dengan kinerja internal partai. Sejak itu, begitu agresif Kiai-politisi tersebut melakukan manuver-manuver politik dan berujung kembali menjadi bagian dari PPP,walaupun secara ekplisit tidak pernah diakuinya, tapi kunjungan KH. Fawaid ke Wapres Hamzah Haz sangatlah politis.

Baik Basuki dan kawan-kawan maupun KH Fawaid bisa dimungkinkan menjadi benih gesekan-gesekan pada saat kampanye. Masing-masing politisi akan bergerak habis meluapkan kekecewaan kepada para konstituentnya melalui momentum kampenye. Dari sini, muncul perlawanan balik dari partai politik yang dulu menaunginya maupun elit-elit partai. Kedua kekuatan politik berbeda itu akan saling menghadapkan dua kelompok massa sehingga melahirkan bentrokan antar massa partai dengan mudah terjadi.

Kedua, bentrokan muncul dipicu oleh perebutan konstituent yang memiliki basis sama. Diantara partai-partai politik yang memiliki basis konstituent sama, misalnya PPP, PKB, PNUI dan PBR. Keempat partai itu sama-sama memiliki basis massa dari kalangan muslim NU. Selain itu, basis pemilih sama juga ada didalam partai PDI-P, PNBK, PNI Marheines, dan Partai Pelopor. Belum lagi, perebutan massa partai dari basis konstitutent yang sama antara Partai Golkar, PKP, dan PKPB.

Perebutan massa akan cukup mengemuka di beberapa daerah di Jawa Timur saat berlangsungnya musim kampenye putaran pertama. Masing-masing partai akan saling berhadapan untuk memperebutkan voter dan mengkalim sebagai partai paling otoritatif terhadap basis massa tersebut. Benturan terjadi manakala elit partai-partai di atas membawa-bawa massa pendukungnya kedalam ruang konflik. Kasus 1999 di berbagai daerah di Jawa Timur dan Jawa Tengah menunjukkan benturan dengan mudah terjadi dikantong-kantong muslim tradisional maupun nasionalis akibat mobilisasi massa partai-partai politik dari basis yang sama. Misalnya saja di Sampang dan sekitarnya basis NU sama-sam menjadi rebutan antara PPP dan PKB, keduanya dengan semangat keagamaan saling memberikan apresiatif yang sangat berlebihan sehingga yang muncul bukan lagi persamaan program partai, tapi karena partainya beda, maka permusuhan yang dikedepankan.

Ketiga, masih dominannya issue-issue etno dan religio sentrisme sebagai wacana kampanye pendulang suara. Didaerah-daerah tertentu di Jawa Timur, masyarakat akar rumput masih begitu kuat memegang semangat etnisitas dan religiositasnya. Di pihak lain, kalangan elit partai partai-partai politik dengan jeli dapat melihat bahwa sentimen etnisitas dan religiositas merupakan issue penting yang dapat dgunakan sebagai alat mendulang suara. Masing-masing partai politik melalui elit lokal saling memanfaatkan issue etnisitas dan religiositas sebagai wacana kampanye. Apalagi, jika partai-partai politik menggunakan etnisitas dan religiositas sebagai alat legitimasi keberadaan partai-partai politik. Akibatnya, benturan antar partai politik berikut massa masing-masing terjadi akibat politisasi etnisitas dan religiositas tersebut.

Keempat, Kenyataan konstituent yang mayoritas belum memiliki kapasitas sebagai pemilih rasional. Harus diakui mayoritas pemilih di Jawa Timur masih belum memiliki kapasitas sebagai pemilih rasional. Banyak diantara mereka menyalurkan aspirasi politiknya tergantung elit-elit lokal berpengaruh. Akibat dari kondisi ini, massa mudah terprovokasi dan saling berhadapan hanya gara-gara perbedaan pilihan partai politik.

Gesekan (baca; kekerasan) politik kampanye juga dimungkinkan mengemuka saat berlangsungnya kampanye putaran kedua. Yaitu, kampanye Presiden dan Wakil Presiden tahap pertama yang akan berlangsung tanggal 14 Mei sampai 18 Juni 2004. Dalam putaran ini, semua kandidat Presiden dan Wakil Presiden yang sudah memenuhi persyaratan mengkampanyekan keikut sertaan diri sebagai peserta.

Partai-partai politik akan memobilisasi massa partai masing-masing untuk mendukung calon Presiden dan Wakil Presiden. Di pihak lain, kekerasan politik yang muncul dalam putaran pertama kampanye masih belum tersembuhkan. Dari sini, bentrokan antar massa pendukung calon Presiden dan Wakil Presiden dengan mudah dapat meletus kepermukaan.

Kampanye Presiden dan Wakil Presiden tahap II yang akan berlangsung dari tanggal 26 Agustus sampai dengan 12 Agustus 2004. Kampanye putaran ini, difahami paling potensial menciptakan kekerasan politik dengan bentuk-bentuknya yang beragam. Paling tidak, ada beberapa alasan penting yang menggambarkan rentannya gesekan politik kampanye pada putaran ketiga ini. Pertama, gesekan dipicu oleh masih belum pudarnya memori kekalahan partai politik dalam pemilu legislatif. Kedua, gesekan politik kampanye di picu oleh sikap balas dendam dari pihak-pihak yang menerima kerugian akibat bentrok antar massa partai dalam kampanye putaran pertama. Ketiga, kekerasan muncul dan dipicu oleh akspresi traumatik akibat kekerasan yang terjadi pada putaran kedua. Keempat, kekerasan juga paling mungkin dipicu oleh partai-partai politik yang tidak berhasil menempatkan calon Presiden maupun Wakil Presiden kedalam pemilihan putaran kedua.

Dengan kata lain, kampanye putaran ketiga akan menjadi media ekspresi dari berbagai kekecewaan maupun kekalahan yang telah muncul sebelumnya. Sehingga, dapat dikatakan bahwa kampanye putaran ketiga memiliki potensi kekerasan politik paling besar dan kompleks.

Seringkali, gesekan politik yang bermanifest pada bentrokan antar partai politik maupun antar massa partai tidak dengan mudah di selesaikan. Yang kerap terjadi, bentrokan itu justru melahirkan kekerasan-kekerasan politik partai. Diantara bentuk kekerasan lanjutan misalnya, penghadangan massa partai yang sedang melakukan konvoi atau pulang dari arena kampenye, pengerusakan dan pembakaran atribut dan fasilitas-fasilitas partai politik lain, pengeroyokan, penculikan, dan bahkan pembunuhan massa partai lain (kasus bentrokan antar massa PDI Perjuangan dan massa Golkar di Tabanan Bali beberapa bulan lalu yang mengakibatkan 2 orang meninggal akan sulit dilupakan bagi mereka yang merasa kalah dan jadi korban). Semua bentuk kekerasan politik itu sangat mungkin terjadi jika mempertimbangkan kondisi objektif diatas.

V

Begitu besarnya potensi kekerasan politik dalam masa kampanye berbagai putaran diatas, sangat tidak bijaksana jika semata-mata hanya menyerahkan semua penyelesaian kepada aparat pemilu (Polri, KPU, Panwaslu). Suksesnya Pemilu 2004 dengan berbagai agenda didalamnya merupakan tanggung jawab semua warga negara tanpa terkecuali. Padahal KPU sendiri sudah membe\uat kebikajan yang memisahkan hari kampanye partai yang kebetulan mempunyai bibit gesekan politik., misalnya PDI P dan Golkar, PKB dan PPP hari kampanyenya dipisah, untuk menghindari terjadinya gesekan politik antar massa partai.

Hal terpenting yang harus di catat, bahwa Pemilu 2004 merupakan langkah awal yang memungkinkan terseleksinya elit-elit baru dan membuka peluang berakhirnya masa ketidakpastian kebangsaan akibat krisis multi-dimensional. Dengan aturan main atau sistem baru yang lebih terbuka dan demokratis di banding pemilu-pemilu sebelumnya, Pemilu 2004 juga menjadi palang pintu menuntaskan agenda-agenda reformasi yang belum sempat terselesaikan oleh pemerintahan sebelumnya.

Oleh karena itu, pelaksanaan kampanye secara damai menjadi agenda penting yang mutlak diperlukan dalam rangka menghasilkan Pemilu 2004 yang adil, aman, dan sukses. Ada langkah-langkah penting yang dapat di jadikan pertimbangan menuju kampanye tanpa kekerasan.

Pertama, netralitas aparat pemilu dalam setiap proses-proses berlangsungnya semua agenda Pemilu 2004. Netralitas akan menempatkan aparat pemilu dari berbagai lembaga yang ada memiliki kewibawaan di hadapan partai-partai politik. Netralitas juga akan membangkitkan kepercayaan bagi partai-partai politik sehingga bersedia menempatkan aparat pemilu sebagai palang pintu semua penyelesaian persoalan yang berkaitan dengan pemilu 2004. Sekali aparat melakukan kesalahan dengan mengabaikan prinsip netralitas maka akan melahirkan krisis kepercayaan yang berujung tidak lagi mengakui eksistensi kewenagan mereka. Sehingga, aparat pemilu tidak lagi memiliki kredibilitas dan kewibawaan di hadapan semua kontenstan Pemilu. Misalnya apabila terjadi pelanggaran aturan kampanye dilakukan oleh partai politik, tidak pandang apakah itu partai besar atau kecil, aparat maupun panwaslu harus berani menindak tegas. Kita harus belajar dari pemilu 1999, dimana jika ada pelanggaran dilakukan oleh partai kecil, panwaslu bersikap tegas, namun apabila pelanggaran kampanye dilakukan partai besar yang nota bene punya massa besar mereka cenderung membiarkan.

Kedua, netralitas tidak memiliki arti penting bila tidak didukung oleh sinergitas pejabat-pejabat pemilu. Komisi Pemilihan Umum (KPU), aparat pemerintahan, Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu), Polri, dan lain-lain memiliki pandangan sama tentang bagaimana Pemilu 2004. Konflik antar pejabat pemilu memberi peluang bagi kontestant Pemilu untuk memanfaatkan situasi tersebut. Karena itu, komunikasi dan konsolidasi efektif antar pejabat pemilu mutlak di perlukan.

Ketiga, pemetaan potensi konflik yang ada di Jawa Timur dalam rangka merumuskan scheduling agenda kampanye partai-partai politik maupun Capres dan Cawapres. Ini menjadi penting agar supaya partai-partai politik maupun Capres dan Cawapres yang memperebutkan massa dari basis konstituen sama tidak bertemu dalam satu titik.

Ketiga, aktualisasi kesepakatan partai-partai politik yang selama ini telah digulirkan (Forum Komunikasi Partai Politik). Selama ini, khsusunya di Jawa Timur muncul kesepakatan kebutuhan mutlak suksesnya Pemilu 2004 dengan berbagai agenda di dalamnya, termasuk agenda kampanye. Sukses di dalam pengertian semua pelaksanaan pemilu berjalan adil, aman, dan tertib. Kesepakatan tersebut tidaklah hanya terhenti sebagai good will para elit partai politik semata. Namun, kesepakatan dijelmakan kedalam aksi-aksi kongkrit dan nyata yang melibatkan semua partai politik kontenstant pemilu 2004. Meski berbagai pertimbangan inipun belum menjamin terselenggaranya Pemilu 2004 sesuai dengan harapan, tetapi paling tidak, akan dapat meminimalisir gesekan dan kekerasan politik Pemilihan Umum, khsusunya gesekan ditengah berlangsungya tiga putaran kampanye. gesekan politik memang sangat sulit dihentikan sama sekali, tetapi meminimalisir potensi-potensi kekerasan akan lebih baik dari pada tidak melakukan sama sekali.

Koruptor Bebas, Karena Lemahnya Undang-undang

Langkah presiden Susilo Bambang Yudoyono dalam upaya pemberantasan korupsi menuai kecaman. Ada yang menganggap langkah tersebut untuk menaikkan popularitas menjelang pemilu 2009. Sementara kalangan partai politik yang berseberangan melihat langkah SBY tersebut diskriminatif, karena yang ditangkapi hanya pejabat-pejabat pemerintahan sebelumnya. Sedangkan para jenderal tidak tersentuh, Hamid Awaludin (menteri Hukum dan Perundang-undangan) yang diduga terkait kasus korupsi KPU semasa menjadi anggota KPU aman-aman saja. Tulisan ini memfokuskan pada lemahnya KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana) yang mengakibatkan bebasnya tersangka korupsi.

Beberapa bulan lalu, kepala PLN Edi Widono tersangka kasus korupsi pembangunan pembangkit Listrik di Sumatera akhirnya bebas demi hukum. Karena batas waktu penahanan ditingkat penyidikan sudah habis. Sedangkan kejaksaan belum mengeluarkan P21 yang menunjukkan bahwa berkas tersangka sudah dianggap sempurna. Edi Widiono dikenal dekat dengan Wapres Jusuf Kalla. Di Polda Jatim Sahudi (kepala Dinas Pendidikan kota Surabaya) tersangka kasus korupsi pemalsuan Mikroskup juga penahanannya ditangguhkan penyidik beberapa jam sebelum masa penahanan habis. Persoalannya sama, sebab kejaksaan Tinggi Jatim belum mengeluarkan P 21.

Bebasnya tersangka korupsi karena masa penahanan habis patut menjadi perhatian, sebab dengan ditahannya tersangka oleh penyidik, berarti penyidik sudah mempunyai bukti yang cukup. Sehingga dasar penyidik melakukan penahanan terhadap tersangka berdasarkan syarat obyektif dan subyektif sudah terpenuhi. Tapi jika tersangka harus bebas demi hukum, tentunya sebuah tamparan bagi polisi, dan menambah daftar buruknya kinerja kepolisian.

Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pasal 1 angka 21 menyebutkan; bahwa penyidik, penuntut umum hakim berwenang melakukan penahanan. Tetapi pasal 21 KUHAP memberikan rambu-rambu, agar aparat penegak hukum tidak menyalahgunakan Undang-undang yang bisa merugikan hak tersangka/terdakwa. Prakteknya penyidik terlalu mudah melakukan penahanan terhadap semua tersangka tidak hanya kasus korupsi. Jangan-jangan penyidik menggunakan paradigma “tahan dulu soal salah dan benar biar nanti dibuktikan di pengadilan”. Apabila pendapat ini yang digunakan jelas salah besar. Ada beberapa konsekwensi terhadap ditahannya seorang tersangka. Pertama, aktifitas keseharian tersangka akan terhenti, misalnya pekerjaan dan kewajiban kepada keluarga. Kedua, dengan ditahan psikologi tersangka menjadi hancur, sebab tersangka merasa namanya telah tercemar.

Masyarakat menganggap, tersangka yang ditahan oleh aparat penegak hukum, sama saja telah melakukan kesalahan. Padahal selama belum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, tersangka/terdakwa wajib dianggap tidak bersalah. Konsekwensi-konsekwensi ini harusnya menjadi pertimbangan bagi Penyidik, Jaksa dan Hakim.

Syarat Penahanan

Ada 2 (dua) syarat penahanan seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 21 ayat 1 KUHAP yaitu; syarat subjektif dan objektif. Syarat subjektif ialah; Penahanan bisa dilakukan dengan pertimbangan apabila dikhawatirkan tersangka/terdakwa melarikan diri, menghilangkan barang bukti dan dikhawatirkan mengulangi tindak pidana. Jika penyidik tidak dapat menemukan tiga indikasi tersebut tentu punyidik tidak boleh melakukan penahanan. Syarat objektif adalah; bahwa penahanan bisa dilakukan apabila tesangka/terdakwa melanggar dengan ancaman penjara di atas 5 (lima) tahun, kecuali untuk kasus-kasus tertentu yang disyaratkan oleh Undang-undang.

Pertanyaannya, apakah selama ini penyidik dalam melakukan penahanan menggunakan dua syarat di atas? Jawabnya pasti ya. Menurut saya, syarat penahanan seperti yang dimaksud dalam pasal 21 ayat 1 KUHAP multi tafsir dan cenderung memberikan kewenangan absolut kepada Polisi, Jaksa dan Hakim. Siapa yang berhak mengatakan bahwa tersangka/terdakwa akan melarikan diri, mencoba menghilangkan barang bukti dsb. Apakah tersangka yang hendak pergi ke luar kota sudah mengidikasikan tersangka akan lari? Apakah tersangka yang menemui korban, atau masuk kantor sudah bisa dikategorikan hendak mengulangi tindak pidana? Ketentuan ini menjadikan penyidik melakukan kesimpulan sekehendak hatinya jika mau melakukan penahanan.

Pasal ini memberikan peluang terjadinya diel-diel tertentu antara tersangka dan Polisi, Jaksa dan Hakim supaya tidak dilakukan penahanan. Kewenangan pasal penahanan hampir sama dengan pasal tentang penangguhan penahanan yang sering disalahgunakan oleh aparat penegak hukum (pasal 31 KUHAP). Sehingga hukum bisa dibeli, hukum menghamba kepada si kaya dan hukum hanya berlaku bagi orang miskin. lihat kasus Alim Markus (bos P.T. Maspion) yang ditahan Mabes Polri atas tuduhan pelanggaran Undang-undang Bank Indonesia (BI) yang penahanannya ditangguhkan tapi perkaranya mati suri.

KUHAP memberikan batasan masa penahanan kepada penydik, jaksa dan hakim. Tujuan dari penahanan itu sendiri untuk memudahkan penydikan, dan tidak menutup kemungkinan jika pemeriksaan sudah selesai tersangka bisa dikeluarkan dari tahanan. ini adalah amanat Undang-undang. Prakteknya belum pernah ada tahanan yang dikeluarkan karena pemeriksaannya sudah selesai, yang ada, penahanan selalu diperpanjang walaupun pemeriksaan sudah selesai. Aparat penegak hukum sering beralasan, mereka tidak mau ambil resiko, jika dikeluarkan dari tahanan kuatir mempersulit pemeriksaan di pengadilan.

Apabila tersangka ditahan dengan dasar bukti yang dipaksakan, dan masa penahanannya habis, atau oleh majelis hakim dibebaskan karena dakwaannya tidak terbukti siapa yang bertanggung jawab atas penahanan tersangka? seperti kasus Edi Widiono dan Sahudi. Sementara masyarakat sudah terlanjur memberikan stigma negatif, psikologi keluarga tersangka sudah hancur duluan. Kalao penahanan justru dimaksudkan supaya psikologi tersangka down dan mengakui semua yang belum tentu dilakukan oleh tersangka. Itu sama saja aparat penegak hukum telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia.

Idealnya dalam melakukan pemeriksaan, polisi tidak perlu melakukan penahanan jika tersangka selalu kooperatif setiap dipanggil oleh penyidik. Jangan karena kasus korupsi menjadi perhatian masyarakat, sehingga membuat polisi melakukan penahanan? Itu artinya tujuan penahanan bukan supaya memperlancar penyidikan tetapi untuk menyenangkan hati masyarakat. Polisi-pun tidak konsisten, Samsul Hadi (saat menjabat bupati Banyuwangi) dan MZ Jalal (bupati Jember) dalam pemeriksaan dugaan kasus korupsi di Polda Jatim tidak melakukan penahanan, alasannya karena tersangka kooperatif (ini namanya tebang pilih).

KUHAP Harus direvisi

Sekali lagi harus ditekankan, bahwa tujuan penahanan adalah untuk memperlancar pemeriksaan. Jangan sampai tujuan tersebut berubah menjadi menghukum tersangka. Apabila tujuan penahanan untuk memperlancar penyidikan, maka tersangka tidak boleh merasa kebebasan dan kemerdekaannya hilang, di dalam tahanan-pun jangan sampai mengalami tekanan dll. Agar tujuan penahanan itu sendiri tidak menyimpang menjadi hukumam bagi tersangka.

KUHAP harus direvisi, supaya model penegakan hukum di negara ini tidak compang-camping dan bisa dijual belikan. Polisi, Jaksa dan Hakim tidak boleh diberikan kewenangan absolut dalam melakukan penahanan. Harus ada lembaga yang bisa mengontrol (praperadilan) jika syarat penahanan terhadap tersangka tidak berdasar Undang-undang bisa dibatalkan. Jangan lagi ada pasal yang multi tafsir yang bisa digunakan oleh aparat penegak hukum bermain-main. Tersangka jika kooperatif dalam setiap pemeriksaan tidak boleh dilakukan penahanan. Dengan begitu upaya Polisi, Jaksa dan Hakim dalam bernegosiasi dengan tersangka bisa diminimalisir.

Ada yang berpendapat untuk kasus korupsi semua tersangka harus ditahan. Dengan pertimbangan bentuk kejahatannya cukup berat, karena merugikan keuangan negara dan melukai hati orang miskin. Maka, harus ada pasal yang jelas dan tegas misalnya untuk perkara korupsi, semua tersangka harus ditahan, kecuali tersangka yang dalam kondisi sakit. Dengan begitu keadilan bisa terwujud.

KUHAP Harus Direvisi

Koran Jawa Pos tanggal 1 Maret 2007 menulis tentang rencana pemerintah melakukan revisi terhadap Undang-undang No.08 tahun 1981 tentang Kiitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Kita tau usia KUHAP sekarang ini sudah lebih dari 25 tahun, tentunya sudah banyak pasal-pasal yang tidak sesuai dengan kondisi yang ada, Hal ini sudah lama menjadi kritikan para praktisi hukum agar pemerintah segera melakukan revisi KUHAP, Setelah sekian lama ditunggu-tunggu rencana revisi datang jua. Ini disampaikan oleh Prof. Andi Hamzah selaku ketua tim penyusun RUU KUHAP.

Pertanyaannya adalah apakah semua elemen aparat penegak hukum dilibatkan dalam revisi KUHAP? Misalnya Polisi, Jaksa Hakim dan Advokat, mereka ini adalah steak holders dalam pelaksanaan KUHAP dilapangan. Terutama Advokat pada saat mendampingi klien baik di kepolisian maupun di pengadilan banyak mengalami hambatan karena pasal-pasal KUHAP banyak mengandung kelemahan. Tulisan ini tidak akan membahas banyak pasal yang harus direvisi, tapi akan fokus pada soal kewenangan penahanan oleh Polisi, Jaksa dan Hakim. Sebab kewenangan penahanan seringkali menjadi momok bagi tersangka yang sedang menjalani pemeriksaan.

Misalnya pasal 1 angka 21 menyebutkan; bahwa penyidik, penuntut umum hakim berwenang melakukan penahanan. Tetapi pasal 21 KUHAP memberikan rambu-rambu, agar aparat penegak hukum tidak menyalahgunakan Undang-undang yang bisa merugikan hak tersangka/terdakwa. Prakteknya penyidik terlalu mudah melakukan penahanan terhadap tersangka, tidak hanya kasus korupsi tapi jika tindak pidana umum. Jangan-jangan penyidik menggunakan paradigma “tahan dulu soal salah dan benar biar nanti dibuktikan di pengadilan”. Apabila pendapat ini yang digunakan jelas salah besar. Ada beberapa konsekwensi terhadap ditahannya seorang tersangka. Pertama, aktifitas keseharian tersangka akan terhenti, misalnya pekerjaan dan kewajiban kepada keluarga. Kedua, dengan ditahan psikologi tersangka menjadi hancur, sebab tersangka merasa namanya telah tercemar.

Opini Masyarakat selama ini menganggap, tersangka yang ditahan oleh aparat penegak hukum, sama saja telah melakukan kesalahan yang sudah diputus oleh pengadilan. Padahal selama belum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, tersangka/terdakwa wajib dianggap tidak bersalah. Konsekwensi-konsekwensi ini harusnya menjadi pertimbangan bagi Penyidik, Jaksa dan Hakim.

Syarat Penahanan

Ada 2 (dua) syarat penahanan seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 21 ayat 1 KUHAP yaitu; syarat subjektif dan objektif. Syarat subjektif ialah; Penahanan bisa dilakukan dengan pertimbangan apabila dikhawatirkan tersangka/terdakwa melarikan diri, menghilangkan barang bukti dan dikhawatirkan mengulangi tindak pidana. Jika penyidik tidak dapat menemukan tiga indikasi tersebut tentu punyidik tidak boleh melakukan penahanan. Syarat objektif adalah; bahwa penahanan bisa dilakukan apabila tesangka/terdakwa melanggar dengan ancaman penjara di atas 5 (lima) tahun, kecuali untuk kasus-kasus tertentu yang disyaratkan oleh Undang-undang.

Pertanyaannya, apakah selama ini penyidik dalam melakukan penahanan menggunakan dua syarat di atas? Jawabnya pasti ya. Namun, fakta dilapangan penyidik dengan mudah melakukan penahanan walaupun tersangka sudah kooperatif dalam setiap penyidikan, tersangka komitmen tidak akan mengulangi tindak pidana dan komitmen tidak akan menghilangkan barang bukti. Toh penahanan dilakukan oleh Penyidik. Menurut saya, syarat penahanan seperti yang dimaksud dalam pasal 21 ayat 1 KUHAP multi tafsir dan cenderung memberikan kewenangan absolut kepada Polisi, Jaksa dan Hakim. Siapa yang berhak mengatakan bahwa tersangka/terdakwa dikhawatirkan melarikan diri, mencoba menghilangkan barang bukti dsb. Apakah tersangka yang hendak pergi ke luar kota sudah mengindikasikan tersangka akan lari? Apakah tersangka yang menemui korban, atau masuk kantor sudah bisa dikategorikan hendak mengulangi tindak pidana? Ketentuan ini menjadikan penyidik melakukan kesimpulan sekehendak hatinya jika mau melakukan penahanan.

Pasal kewenangan penahanan memberikan peluang terjadinya diel-diel tertentu antara tersangka dan Polisi, Jaksa dan Hakim supaya tidak dilakukan penahanan. Kewenangan pasal ini hampir sama dengan pasal tentang penangguhan penahanan yang sering disalahgunakan oleh aparat penegak hukum (pasal 31 KUHAP). Sehingga hukum bisa dibeli, hukum menghamba kepada si kaya dan hukum hanya berlaku bagi orang miskin. lihat kasus Alim Markus (bos P.T. Maspion) yang ditahan Mabes Polri atas tuduhan pelanggaran Undang-undang Bank Indonesia (BI) yang penahanannya ditangguhkan tapi perkaranya mati suri.

KUHAP memberikan batasan masa penahanan kepada penydik, jaksa dan hakim. Tujuan dari penahanan itu sendiri untuk memudahkan penyidikan, dan tidak menutup kemungkinan jika pemeriksaan sudah selesai tersangka bisa dikeluarkan dari tahanan. ini adalah amanat Undang-undang. Prakteknya belum pernah ada tahanan yang dikeluarkan karena pemeriksaannya sudah selesai, yang ada, penahanan selalu diperpanjang walaupun pemeriksaan sudah selesai. Aparat penegak hukum sering beralasan, mereka tidak mau ambil resiko, jika dikeluarkan dari tahanan kuatir mempersulit pemeriksaan di pengadilan.

Apabila tersangka ditahan dengan dasar bukti yang dipaksakan, dan masa penahanannya habis, atau oleh majelis hakim dibebaskan karena dakwaannya tidak terbukti siapa yang bertanggung jawab atas penahanan tersangka? seperti kasus Edi Widiono (direktur PLN) dan Sahudi (kepala Dinas Pendidikan kota Surabaya) karena waktu panahanannya habis sementara berkas perkara belum sempurna sehingga mereka harus dilepas demi hukum. Sementara masyarakat sudah terlanjur memberikan stigma negatif, psikologi keluarga tersangka sudah hancur duluan. Kalao penahanan justru dimaksudkan supaya psikologi tersangka down dan mengakui semua yang belum tentu dilakukan oleh tersangka. Itu sama saja aparat penegak hukum telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia.

Idealnya dalam melakukan pemeriksaan, polisi tidak perlu melakukan penahanan jika tersangka selalu kooperatif setiap dipanggil oleh penyidik. Jangan karena kasus menjadi perhatian masyarakat, sehingga membuat polisi, Jaksa melakukan penahanan? Itu artinya tujuan penahanan bukan supaya memperlancar penyidikan tetapi untuk menyenangkan hati masyarakat. Polisi-pun kadang tidak konsisten, Samsul Hadi (saat menjabat bupati Banyuwangi) dan MZ Jalal (bupati Jember) dalam pemeriksaan dugaan kasus korupsi di Polda Jatim tidak melakukan penahanan, alasannya karena tersangka kooperatif (ini namanya tebang pilih).

KUHAP Harus Direvisi Secara Mendasar

Sekali lagi harus ditekankan, bahwa tujuan penahanan adalah untuk memperlancar pemeriksaan. Jangan sampai tujuan tersebut berubah menjadi menghukum tersangka. Apabila tujuan penahanan untuk memperlancar penyidikan, maka tersangka tidak boleh merasa kebebasan dan kemerdekaannya hilang, di dalam tahanan-pun jangan sampai mengalami tekanan dll. Agar tujuan penahanan itu sendiri tidak menyimpang menjadi hukumam bagi tersangka.

Kenapa KUHAP harus direvisi? supaya model penegakan hukum di negara ini tidak compang-camping yang bisa dijual belikan oleh Polisi, Jaksa, Hakim dan Advokat. Polisi, Jaksa dan Hakim tidak boleh diberikan kewenangan absolut dalam melakukan penahanan. Harus ada lembaga yang bisa mengontrol (praperadilan) jika syarat penahanan terhadap tersangka tidak berdasar Undang-undang bisa dibatalkan. Jangan lagi ada pasal yang multi tafsir yang bisa digunakan oleh aparat penegak hukum bermain-main. Dengan begitu upaya Polisi, Jaksa dan Hakim dalam bernegosiasi dengan tersangka bisa diminimalisir.

Pasal 21 ayat (4) b KUHAP harus dicabut, karena mengatur pasal-pasal perkecualiaan yang bisa dilakukan penahanan seperti pasal 335 (perbuatan tidak menyenangkan) KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana). Pasal ini biasa disebut dengan pasal karet dan oleh penyidik sering disalahgunakan untuk menahan tersangka, padaha bobot perkaranya sangat ringan.

Revisi KUHAP juga harus mencantumkan tentang batasan waktu penyidikan, KUHAP sekarang tidak mengatur batasan waktu perkara yang tersangkanya tidak ditahan. Sehingga perkara di penyidik bisa memakan waktu berbulan-bulan bahkan bisa lebih. Misalnya waktu penyidikan yang tersangkanya tidak ditahan maksimal 6 (enam) bulan. Apabila dalam kurun waktu tertsebut berkas perkaranya belum lengkap maka penyidik harus mengeluarkan SP 3 (surat perintah penghentian penyidikan) bagaimanapun KUHAP harus menjunjung tinggi asas kepastian hukum.

Ada yang berpendapat untuk kasus korupsi, pembunuhan, penipuan semua tersangka harus ditahan. Dengan pertimbangan bentuk kejahatannya cukup berat, Maka, harus ada pasal yang jelas dan tegas misalnya pasal mana yang boleh dilakukan penahanan dan pasal mana yang tidak boleh dilakukan penahanan. Dengan begitu keadilan bisa terwujud tanpa ada perbedaan.


Kebijakan Rasialis di Kota Pahlawan

Kemerdekaan sejatinya adalah terbuangnya semua bentuk penjajahan di Negara ini, baik dalam bentuk fisik maupun psikis. Tapi di kota Surabaya ternyata masih ada perlakuan diskriminatif, rasialis kepada warga Tionghoa yang nyata-nyata berkewarganegaraan Indonesia. Yaitu, dicantumkannya nama marga di Akta Perkawinan oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dispenduk Capil) tanpa diminta oleh pemohon.

Dispenduk Capil secara sepihak menambahkan nama marga (keturunan) di kutipan Akta Perkawinan dan tanpa diminta oleh pemohon. Ini jelas punya implikasi yang luar biasa karena kutipan Akta Perkawinan namanya tidak sama dengan yang tertera di KTP, Sertipikat, ijin usaha BPKB dll. Maka jika melakukan pengurusan dokumen penting lain pasti akan mendapatkan kendala. Dispenduk Capil berargumentasi bahwa kebijakan tersebut sudah sesuai dengan Staatsblat 1917 (peraturan yang dibuat Belanda) yang sampai sekarang masih diberlakukan. Dan tulisan ini difokuskan pada penambahan nama marga yang dilakukan oleh Dispenduk Capil.

Meskipun negara ini telah merdeka sudah lebih dari 50 tahun tapi berkaitan dengan pencatatan sipil masih menggunakan peraturan warisan kolonial Belanda (sungguh ironis), rujukannya ialah; Undang –Undang Dasar 1945 pasal II aturan peralihan menyatakan: “Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”.

Dulu pemerintah Belanda dengan teori devide et impera membagi tiga golongan penduduk yakni Pribumi, Timur Asing dan Eropa. Tujuannya jelas selain agar penduduk waktu itu terpecah dan saling bermusuhan, tujuannya supaya populasi penduduk semakin mudah dikontrol. Karena belum ada Undang-Undang tentang Catatan Sipil, akibatnya semua warga Etnis Tionghoa walaupun hidup dalam alam reformasi, untuk soal pencatatan sipil masih harus menggunakan peraturan warisan kolonial. Ada yang berpendapat pemerintah Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun juga punya kepentingan terhadap pengkotakan golongan tadi, wajar jika Undang-Undang Catatan Sipil dianggap tidak terlalu penting untuk segera dibuat

Dispenduk Capil sebenarnya tidak bisa disalahkan seratus persen, karena jika mengacu kepada Staatsblad 1917 no 130 jo 1919 no. 81, bagi golongan Tionghoa pasal 54 dan pasal 69 menyatakan: “bahwa penulisan dan Akta Perkawinan harus mencamtumkan nama turunan dan nama kecil”. Nama turunan itu selalu ditafsirkan oleh pihak Dispenduk Capil sebagai nama marga. Jadi bagi mereka yang tunduk kepada Staatsblat 1917 dan 1919, dalam dan Akta Perkawinan jika tidak mencantumkan nama marga, secara otomatis tanpa diminta oleh yang bersangkutan nama marga tersebut akan ditulis. Padahal tidak semua orang setuju nama marganya dicantumkan. Anehnya ada beberapa kasus, jika Dispenduk Capil kesulitan mencari nama marga mereka akan menambahkan nama orang tua dibelakangnya, jadi nama orang tua dianggap sebagai nama marga.

Tidak cukup sampai di sini, sekarang bagi warga Tionghoa yang hendak mengajukan pencatatan Akta Perkawinan apabila di KTP dan KK pemohon belum tercantum nama marga mereka harus mengganti dulu KTP dan KK. Hal ini jelas sangat tidak rasional dan menyusahkan warga. kasus ini dibuktikan dengan banyaknya surat protes yang disampaikan melalui surat pembaca Jawa Pos. Berarti ada ribuan warga Tionghoa yang akan merubah dokumen KTP dan KK, tidak cukup sampai di situ, mereka juga harus merubah Sertipikat Tanah, BPKB motor/mobil, Ijin Usaha, NPWP, Ijasah dan banyak dokumen lain. Sebab dokumen tersebut namanya tidak sama dengan yang tercantum di KTP dan KK. Dispenduk Capil tidak berpikir efek domino yang menimpa warga Tionghoa. mereka hanya ingin menjalankan aturan yang dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda.

Kebijakan bertentangan dengan UUD

Di sini penulis akan mencoba menganalisa bahwa kebijakan yang dilakukan oleh Dispenduk Capil sebenarnya bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan peraturan lainnya. Undang-Undang Dasar 1945 pasal 27 ayat 1: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Sedangkan pasal 28 D ayat 1 menyatakan: “Setiap orang berhak atas pengakuan jaminan, pelindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Alasan Dispenduk capil memberlakukan Staatsblad 1917 tidak tepat, karena ada Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1945 tentang Peraturan Peralihan pasal 1 menyatakan: “ Segala badan-badan negara dan peraturan-peraturan yang ada sampai berdirinya Negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar masih berlaku asal saja tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar tersebut”.

Jelas sekali bahwa para pendiri bangsa ini sudah mengerti, banyak peraturan peninggalan pemerintahan Belanda yang bersifat diskriminatif dan jika diberlakukan sudah tidak sesuai lagi dengan kerangka negara demokrasi, sehingga diberlakukan Peraturan Pemerintah nomor 2 Tahun 1945. Kita juga mempunyai Undang-Undang nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang tidak membenarkan adanya pembedaan kebijakan yang didasarkan karena etnis, agama, jenis kelamin dll. Ada juga Undang-Undang nomor 29 Tahun 1999 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial yang melarang individu maupun pemerintah melakukan tindakan diskriminatif.

Yang paling terbaru adalah Surat Menteri Dalam Negeri nomor: 474.1/1580/SJ tanggal 14 Juli 2003 yang ditujukan kepada Bupati/Walikota seluruh Indonesia yang berbunyi: “Atas dasar penelahaan dasar hukum tersebut dan pertimbangan yang seksama, maka, perlu ditegaskan bahwa pencantuman nama kecil dapat dipergunakan apabila ada yang meminta dengan persyaratan bahwa pencantuman nama keluarga/marga/keturunan tersebut dilakukan melalui pembuktian hukum keturunan”.

Kesimpulan

Setelah membaca tulisan di atas, tidak ada alasan apapun apabila Dispenduk Capil menambahkan nama marga dalam Akta Perkawinan. Karena banyak peraturan yang bisa digunakan sebagai payung hukum. dan ini terbukti di daerah lain tidak ada kasus seperti di Surabaya. Artinya selama ini justru Dispenduk Capil yang mencari-cari masalah. Dispenduk Capil kurang mempunyai keberanian dalam memberikan pelayanan terhadap warga yang tunduk kepada staatsblad 1917, sehingga yang terjadi praktiknya kaku, biarpun merugikan warga etnis Tionghoa masih saja diberlakukan.

Apalagi hukum catatan sipil kita-kan tidak mengenal lagi Golongan Pribumi, Golongan Tionghoa maupun Golongan Eropa, yang ada warga negara Indonesia dan warga negara Asing. Harusnya dengan adanya kasus seperti di Surabaya menjadikan pelajaran buat pemerintah dan DPR agar memprioritaskan pembahasan mengenai rancangan Undang-undang tentang Catatan Sipil, jangan terlalu sibuk mengurusi rancangan Undang-undang anti pornografi dan porno aksi saja yang banyak mengalami penolakan dari masyarakat,

Sebagai penutup tulisan ini, penulis menyarankan kepada Dispenduk Capil, pertama, harus ada keberanian mencatat Akta Perkawinan sesuai keinginan dari pemohon, tidak lagi mendiskriminasi karena mereka orang Tionghoa maka harus tunduk pada aturan kolonial. Yang penting warga Negara Indonesia maka perlakuannya adalah sama. Kedua, mengganti Akta Perkawinan yang sudah terlanjur diberi tambahan nama marga. Ketiga, Walikota Surabaya harus menginstruksikan kepada kecamatan untuk mengganti KTP dan KK yang sudah terlanjur diberi nama marga. Ke empat, yang tidak kalah penting Pemkot Surabaya meminta maaf secara terbuka kepada warga yang telah mendapatkan kebijakan disrkiminatif, rasialis tersebut.

Menghapus mafia peradilan di PN Surabaya

Tulisan ini sebagai bentuk keprihatinan melihat kondisi pengadilan negeri Surabaya yang dipenuhi suap dan pungli. Misalnya pendaftaran surat kuasa dikenakan biaya tidak resmi, mengambil salinan putusan harus bayar, pungutan untuk Banding dan Kasasi, legalisir, agenda sidang yang tidak tertata rapi sampai jual beli perkara. Carut marut penanganan perkara di PN (baca; pengadilan negeri) Surabaya menambah daftar kebobrokan lembaga peradilan di Indonesia.

Sudah menjadi kebiasan di PN Surabaya bahwa, system persidangan bertele-tele, menjemukan dipenuhi suap dan mafia peradilan. Padahal, setiap hari persidangan baik perkara Perdata maupun Pidana selalu memenuhi ruang persidangan, kadang harus antri menunggu ruang sidang yang masih dipergunakan. Jika seperti itu biasaya ruang sidang Pengadilan Niaga yang kebetulan tempatnya di gedung sebelah dipakai sidang perkara Perdata dan Pidana yang tidak kebagian ruang sidang.

Sudah pernah ada usulan, PN Surabaya di tambah seperti Jakarta, disebabkan banyaknya perkara yang ditangani. Pengadilan negeri Jakarta Pusat, Timur, Utara dan Selatan dan Barat. mengikuti teritori pembagian wilayah di Jakarta. Tapi untuk Surabaya hal ini sulit dilakukan mengingat belum adanya pembagian wilayah teritorial.

Para Advokat yang melakukan pembelaan kliennya baik perkara perdata maupun pidana melihat sistem persidangan di Pengadilan Negeri Surabaya sangat tidak efektif dan efisien. Karena satu hari hanya bisa sidang sekali, bagi Advokat yang kebetulan jam terbangnya tinggi tentu hal ini menjadi halangan, bisa jadi dalam satu hari ada beberapa perkara ditempat lain yang ditangani akhirnya tidak bisa diselesaikan hanya disebabkan harus menunggu sidang yang tidak menentu di PN Surabaya.

Sering kali para Advokat jam 9 (sembilan) sudah hadir di pengadilan tetapi karena lawannya belum datang, persidangan tidak bisa dimulai, dan harus menunggu berjam-jam, majelis hakim sendiri ketika diminta untuk memulai sidang tidak mau sebelum para pihaknya lengkap. Bagi mereka yang bertujuan mengulur persidangan maka sistem yang ada sekarang sangat diuntungkan. Tetapi jelas ini bertentangan dengan azas peradilan, dan menodai makna bahwa proses beracara yang cepat dan murah. Penulis sendiri pernah nunggu dari jam 9, baru jam 2 sidang bisa digelar. Ini terjadi penyebabnya tidak hanya karena lawan yang belum datang, tapi salah satu dari ketiga majelis hakim menangani perkara lain, sehingga saling menunggu untuk supaya majelis hakim lengkap baru sidang bisa dimulai, sungguh ironis.

Bahwa, di PN Surabaya dalam hal administrasi perkara perdata dan pidana sarat dengan pungli dan suap. Untuk mendaftar surat kuasa Advokat harus merogoh sakunya antara Rp.15.000, (lima belas ribu rupiah) hingga Rp.25.000, (dua puluh lima ribu rupiah), jika ini tidak dilakukan maka proses pendaftaran surat kuasa membutuhkan waktu lama, padahal pendaftaran surat kuasa adalah syarat wajib untuk bisa mendampingi Klien.

Tidak itu saja, setelah putusan dibacakan harusnya Advokat/Terdakwa baik perkara perdata dan pidana berhak mendapatkan salinanan putusan, ini sebagai bahan untuk mengajukan banding. Praktik selama ini jika tidak mengeluarkan rupiah yang mencapai ratusan ribu, jangan harap bisa mendapatkan salinan putusan.

Para Advokat apabila hendak mengajukan Banding dan Kasasi yang tidak sepakat terhadap putusan hakim juga dibebani biaya tidak resmi, padahal untuk perkara perdata sudah ada biaya panjar (resmi) yang nilainya di atas Rp.500.000, (lima ratus ribu rupiah).

Apabila masyarakat hendak mengajukan legalisir di PN Surabaya, dikenai biaya tidak resmi, yang dihitung perlembar yang akan dilegalisir. karena ini sudah menjadi budaya di PN Surabaya sehingga masyarakat tidak mempersoalkannya.

Pengadilan adalah tempat masyarakat mencari keadilan, lembaga ini harus bersih dari suap dan pungli, tidak terkecuali PN Surabaya. Maka harus ada gerakan bersama, Tidak bisa kita harapkan akan lahir perubahan dari internal pengadilan, sebab, mereka selama ini mendapat manfaat dari system yang rusak ini. Advokat dan LSM harus bisa memaksa PN Surabaya berubah, jika tidak maka wibawa pengadilan akan luntur tak ubahnya dengan lembaga birokrasi lain yang dipenuhi suap dan pungli.

Kita harus jadikan Pengadilan negeri Surabaya seperti Pengadilan Agama Surabaya yang membuat system persidangan tertata rapi, efektif dan efisien. Bila kita berperkara di PA (baca; Pengadilan Agama Surabaya), kita tidak akan menemui yang namanya pungli dan suap, di sana semua proses beracara sangat simple dan murah. Semua orang yang hendak sidang harus mendaftar di panitera. Jadi siapa yang daftar pertama, nanti akan dipanggil duluan. Dan pada jam 9 (sembilan) sesuai dangan surat panggilan dipanggil satu-persatu. Jika salah satu pihak tidak hadir, maka dianggap tidak datang kepersidangan. Jelas ini merupakan cerminan kepastian hukum proses beracara yang cepat dan murah. Belum pernah penulis alami sidang di PA Suarbaya mengalami sidang molor atau dimintai uang tidak resmi.

Proses persidangan PA Surabaya bisa diberlakukan di PN Surabaya dengan syarat Majelis Hakimnya harus satu tim dalam menangani perkara, sehingga tidak akan terjadi saling menunggu sidang yang disebabkan salah satu hakim masih sidang perkara lain.

Di PA Surabaya pendaftaran surat kuasa memang bayar tapi resmi ada kwitansi tanda terima meskipun agak mahal, tetapi mereka yang berperkara puas karena jelas uang itu lari kemana? Setelah putusan dibacakan 2 (dua) minggu kemudian salinan putusan bisa diambil tanpa dikenai biaya tambahan apapun. Bagi Advokat dalam menjelaskan kepada Klien tentang biaya perkara yang resmi sangat mudah, biarpun mahal jelas pertanggungjawabannya, berbeda dengan menjelaskan biaya yang tidak resmi kepada Klien kami mengalami kesulitan. Bisa jadi Klien curiga bahwa Advokat sendiri yang cari tambahan uang dengan alasan bayar ini dan itu.

Berkaca pada PA Surabaya, masih ada secercah harapan untuk bisa memberantas mafia peradilan di PN Surabaya. Harus diingat pungli dan suap adalah pintu masuk terjadinya jual beli perkara. Ditengah ketidakpercayaan masyarakat terhadap institusi pengadilan, PA Surabaya bisa menjadi bukti bahwa masih ada lembaga pengadilan di bangsa ini yang masih bersih tanpa ada mafia peradilan. Ini harus menjadi contoh pengadilan tempat lain tak terkecuali PN Surabaya.

MUHAMMAD SHOLEH,SH.

Advokat juga Kepala Badan Bantuan Hukum PDI Perjuangan Surabaya

Hp.08123000134

Rek Bca.5090070501